Menceburkedalamnyalah yg akan Mengajarkan kita untuk tidak tenggelam dalam Kehidupan MENIKAH itu bukan semata-mata tentang CINTA & RASA, tapi tentang KEIMANAN & KESETIAAN pada ajaran & anjuran Tuhan. MENIKAH itu = menyusun PUZLE Kehidupan, Sering Butuh Pihak Ketiga tuk "klop"kan 'PUZLE' dalam sebuah PERJODOHAN. MENIKAH itu

ArticlePDF Available AbstractThis paper discusses about the concept of makrifat and its relevance to the spiritual in modern era. Sufi’s makrifat is not the result of speculative reasoning, but the result of direct testimony. Therefore, the problem to be answered about the essence and experience of divinity has always been a mystery. By analyzing critically, this study resulted in the finding that the concept of makrifat according to Ibnu Ata Allah is the essence of tauhid that combines Islam, Iman and Ihsan. He has explored the aspects of jadzab’ in reaching makrifat. The spiritual experiences toward the essence of divinity which is not represented in the form of witnessing the absolute oneness syuhūd al-aḥadiyyah became the main characteristic of his makrifat. This condition is contrary to the ideology of modern materialism that nullify the spiritual and assume that the physical world is the essence of everythings. Thus, according to Ibnu Ata Allah, makrifat has found a great momentum wherein it reach this level, ārif must look at the world on Allah’s will. Besides that, an ārif will see at the absolute oneness syuhūd al-aḥadiyah which is outside the scope of human reasoning when they get the level of wusṣūl in makrifat form. The view that be felt by ārif bi Allāh give their psychological side affects. They felt fanā, jam`, ghaibah, sakr and another more perfect condition. The testimony and their spiritual condition affecting their vision on the world. Where they watched fi`l by fi`l, ṣifah by s}ifah also dzāt by dzāt . Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Vol. 14, No. 2, September 2016Konsep MakrifatIbnu Athaillah al-SakandariMoh. Isom Mudin*Universitas Darussalam UNIDA GontorEmail moza_ifa paper discusses about the concept of makrifat and its relevance to the spiritualin modern era. Sufi’s makrifat is not the result of speculative reasoning, but the result ofdirect testimony. Therefore, the problem to be answered about the essence and experienceof divinity has always been a mystery. By analyzing critically, this study resulted in thefinding that the concept of makrifat according to Ibnu Athaillah is the essence of tauhidthat combines Islam, Iman, and Ihsan. He has explored the aspects of jadzab’ in reachingmakrifat. The spiritual experiences toward the essence of divinity which is not representedin the form of witnessing the absolute oneness syuhu>d al-ah}adiyyah became the maincharacteristic of his makrifat. This condition is contrary to the ideology of modernmaterialism that nullify the spiritual and assume that the physical world is the essence ofeverythings. Thus, according to Ibnu Athaillah, makrifat has found a great momentumwherein it reach this level, a>rif must look at the world on Allah’s will. Besides that, an a>rifwill see at the absolute oneness syuhu>d al-ah}adiyah which is outside the scope of humanreasoning when they get the level of wus}u>l in makrifat form. The view that be felt by a>rifbi Alla>h give their psychological side affects. They felt fana>, jam`, ghaibah, sakr andanother more perfect condition. The testimony and their spiritual condition affectingtheir vision on the world. Where they watched fi`l by fi`l, s}ifah by s}ifah also dza>t bydza> Makrifat, Sulu>k, Jadzab, Ah}adiyyah, Ah’.AbstrakTulisan ini membahas tentang konsep makrifat menurut Ibnu Athaillah al-Sakandaridan relevansinya dengan spiritual di zaman modern. Makrifat para sufi bukanlah hasilpenalaran spekulatif, melainkan hasil dari penyaksian langsung. Oleh karena itu, masalahyang akan dijawab tentang hakikat dan pengalaman ketuhanan selalu menjadi menganalisis secara kritis, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa konsep* Fakultas Ushuluddin Universitas Darussalam Gontor. Jl. Raya Siman 06, Ponorogo,Jawa Timur 63471. Tlp +62352 483764, Fax +62352 Jurnal Studi Agama dan Pemikiran IslamAvailable at Moh. Isom Mudin156Journal KALIMAHmakrifat Ibnu Athaillah adalah inti tauhid yang menggabungkan Islam, Iman, danIhsan. Ibnu Athaillah mengeksplorasi aspek jadzab’ dalam menggapai spiritual akan hakikat ketuhanan yang tidak tergambarkandalam bentuk penyaksian keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyyah menjadi ciri utamamakrifatnya. Hal seperti ini sangat bertentangan dengan paham materialisme modernyang menihilkan spiritual dan menganggap bahwa dunia fisik adalah hakikat segalasesuatu. Maka, makrifat Ibnu Athaillah menemukan momentumnya di mana ketikamencapai derajat ini seorang a>rif harus menyikapi dunia ini sesuai kehendak Allah. Disamping itu, para a>rif akan melihat keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyah, yangjangkauannya berada di luar daya nalar manusia pada saat mereka mencapai tingkatanwus}u>l dalam bentuk makrifat. Penglihatan yang dialami seorang a>rif bi Alla>h tersebut,memengaruhi sisi psikologis mereka. Mereka merasakan fana>, jam`, ghaibah, sakr, dankondisi yang lebih sempurna. Penyaksian dan kondisi spiritual mereka memengaruhipenglihatan mereka pada alam sekitar. Di mana mereka menyaksikan fi`l dengan fi`l,s}ifah dengan s}ifah, serta dza>t dengan dza> Kunci Makrifat, Sulu>k, Jadzab, Ah}adiyyah, Ah’.PendahuluanMemperbincangkan makrifat dalam kajian tasawuf al-marifah al-s}u>fiyyah adalah sesuatu hal yang cukupmenarik, menantang, dan sangat urgen. Menariknyaadalah bahwa al-marifah al-s}u>fiyyah ini bukanlah hasil penalaranspekulatif,1 melainkan hasil dari penyaksian batin secara langsungmusya>hadah.2 Penyaksian batin ini bersifat sangat eksklusif,karena merupakan bentuk dari pengalaman rasa’ dzawq parasufi yang tentunya berbeda antara satu dengan yang lain. Selanjut-nya, pengalaman rasa’ para sufi tidaklah mudah untuk diubahmenjadi sebuah teori, karena meneorikan perasaan dan pengalam-an batin apabila berhasil tentu akan menjadi prestasi yangmempunyai nilai plus’, namun juga bisa menurunkan martabatal-marifah al-s}u>fiyyah’ itu sendiri, karena goresan pena sejatinyakurang memadai pesan-pesan perasaan batin. Itulah sebabnya, para1 William C. Chittick, Sufism a Short Introduction, UK One World Publication,2007, Muhammad al-Adluni al-Idrisi, Mujam Mus}t}ala>h}a>t al-Tas}awwuf al-Falsafiy,Jordan Da>r al-Tsaqa>fah, 2002, 189; Ibrahim Madzkur, Al-Mujam al-Falsafi, Kairo al-Haiah al-Amah, 1983 M/ 1403 H 186-187; Al-Qusyairi, Risa>lah Qusyairiyyah, Edited bySyekh Abd Halim Mahmud bin Syarif, Kairo Da>r al-Syab, 1989 M/1409 H, 176; Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Dira>sa>t fi> al-Falsafah al-Isla>miyyah, Kairo Maktabah al-Qa>hirah al-H{adi>tsiyyah, 1957, 148. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 157Vol. 14, No. 2, September 2016peneliti yang ingin berbicara mengenai al-marifah al-s}u>fiyyah’ditantang memaksakan diri’ untuk bisa merasakan apa yang dirasa-kan sufi yang dibicarakan3 walaupun pada level yang jauh berbedaagar tidak terkungkung dalam penjara makrifat sufi adalah Allah SWT yang bersifat tiadasesuatupun yang serupa dengan Dia’. Keberadaan-Nya di luarjangkauan akal pikiran. Oleh sebab itu, mereka membangun jalantersendiri untuk mencapainya. Dengan jalan yang berbeda tentuhasil makrifat’ tersebut berbeda pula. Mereka wus}u>l’ sampai padaAllah yang membuahkan pengalaman-pengalaman spiritual akanhakikat ketuhanan yang tidak tergambarkan. Salah satu tokoh yangakan dibahas dalam pembahasan ini adalah Ibnu Athaillah al-Sakandari yang mempunyai jalan’ tersendiri dalam tasawuf. Disini, penulis hendak mengetengahkan beberapa persoalan; bagai-mana hakikat makrifat? Bagaimana metode mencapainya, bagai-mana bentuk makrifat tersebut? Bagaimana kondisi spiritual paraa>rif bi Alla>h’?Sekilas tentang Ibnu Athaillah al-SakandariNama le n gkap Ibnu Atha i llah adalah Ahma d binMuhammad bin Abd al-Karim bin Athaillah al-Sakandari al-Malikial-Syadzili, bergelar S{a>h}i>b al-H{ikam’, Ta>j al-Di>n’,Tarjuman al-`An’. Lahir sekitar tahun 657 H-679 H dan wafat pada JumadalAkhir 709 Dengan demikian beliau hidup pada paruh keduaabad ketujuh dan memasuki awal abad kedelapan sosial masyarakat dan keagamaan di mana beliauhidup mempunyai pengaruh besar terhadap pemikirannya. Masya-rakat waktu itu terbagi ke dalam beberapa strata sosial; pemerintah,para intelektual, serta masyarakat Ibnu Athaillah sebagai3 Penelitian jenis seperti ini berhasil dilakukan oleh Imam al-Ghazali sehinggamenghasilkan kesimpulan bahwa sufi adalah kelompok yang paling benar. Lihat Abu Hamidal-Ghazali, Al-Munqidz min al-D{ala>l, Beirut al-Maktabah al-Syabiyah, Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Durar al-Ka>minah fi> Aya>n Miah al-Tsa>minah, Vol. 1,Beirut Da>r al-Ji>l, 1993 M, 273; Abd al-Munim, Al-Mausu>ah al-S{u>fiyyah Ala>m al-Tas}awwuf wa al-Munkiri>n alaih wa al-T}uruq al-S}u>fiyyah, Kairo Dar> al-Irsya>d, 1992,295; Ibnu Farhun al-Maliki, Al-Di>ba>j al-Madzhab fi> Marifah Aya>n Ulama>’ al-Madzhab,Vol. 1, Kairo Da>r al-Tura>ts, 1415 H, 242; Yusuf Ismail al-Nabhani, Ja>mi’ Kara>ma>t al-Awliya>’, Vol. 1, Gujarat Maraz Ahl Sunnat Barakat, 2001, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibn At}a>illah wa Tas}awwufuh, KairoMaktabah al-Mis}riyyah, Cet. 2, 1969, 31-32. Moh. Isom Mudin158Journal KALIMAHbagian dari para intelektual berperan aktif terhadap pemerintahdengan memberikan nasihat dan kritik yang Kondisikeagamaan adalah, bahwa mazhab Ahlusunnah waktu itu menjadimazhab resmi Mesir. Dalam masalah us}u>l mengikuti mazhab al-Asy’ari dan dalam masalah furu> mengikuti paradigma mazhabempat. Namun, mazhab mayoritas adalah mazhab Selainitu, juga banyak tokoh-tokoh sufi yang lain, maka tidak heranterdapat berbagai tarekat sufi, di antaranya al-Rifaiyah, al-Badawiyyah, al-Qadiriyyah, al-Syadziliyyah, dan Kondisiso sial k eagamaa n Me sir waktu itu me mbentuk kara intelektual-spiritual Ibnu Athaillah setidaknyaterbagi ke dalam tiga fase. Pertama, sebelum tahun 674 H sebelums}uh}bah’ dengan Syeikh al-Mursi, masa belajar berbagai disiplinilmu seperi Usul Fiqh, Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadis, Balaghah, danlain-lain, hingga beliau menjadi tokoh sentral dalam mazhabMaliki. Namun, beliau masih antipati terhadap tasawuf dan banyakberdebat dengan pengikut Syadziliyah murid-murid Syekh al-Mursi.9 Kedua, setelah tahun 674 H, pada masa ini beliau mengakuikebenaran tasawuf setelah melakukan s}uh}bah’ dengan Syeikh al-Mursi. Selain belajar sulu>k’ dengan Syekh al-Mursi, beliau jugamasih mempelajari berbagai disiplin ilmu sekaligus Ketiga, masa kematangan spiritual-intelektual. Setelah wafat-nya Syekh al-Mursi, beliau menjadi mursyid Tarekat Syadziliyahdan merumuskan dasar-dasarnya. Selain itu, beliau juga aktifmengajar beberapa disiplin ilmu pengetahuan di Universitas al-Azhar dan Universitas al-Mansuriyyah. Di antara mahasiswanyayang terkenal adalah Taqiyyuddin al-Subki H, Daud al-Bakhily, dan Abu Hasan Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h} wa Mis}ba>h} al-Arwa>h} fi> Dzikrilla>h al-Kari>m al-Fatta>h}, Beirut Da>r al-Kutub al-Aif al-Mina>n. Edited by Abd Halim Mahmud, Mesir Da>r al-Ma’a>rif, Cet. 3, 2006, Al-Maqrizy, Al-Sulu>k li Marifah Duwal al-Mulu>k, Vol. 1, Edited by M. Abd al-Qadir Atha, Beirut Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, 520-547; Al-Maqrizy, Al-Mawa>’iz}wa al-Itiba>r bi Dzikr al-Khut}at} wa al-Atsa>r, Vol. 4, Mesir Maktabah Ji>l, 1326 H, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibnu At}a>illah..., 62-63; Amir Najjar, Al-T{uruqal-S{u>fiyyah fi> Mis}r Nasyaatuha> wa Naz}muha> wa Wuruduha>, Kairo Da>r al-Maa>rif, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibid., 29, 40, 90, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibnu At}a>illah..., 62-63; Ibnu Hajar al-Asqalani,Al-Durar al-Ka>minah..., Vol. 1, 274. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 159Vol. 14, No. 2, September 2016 Ibnu Athaillah meninggalkan sekitar 24 karya merupakan Magnum Opus’ dan sekaligus mewakilimazhab tasawuf beliau. Beberapa karyanya yang lain yang masihbisa ditemukan adalah al-Muna>ja>h al-`At}a>iyyah, Was}iyyah liIkhwa>nihi bi Madi>nah al-Iskandariyah, al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r,Lat}a>if al-Minan, Ta>j al-`Aru>s al-H{a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s, al-Qas}dal-Mujarrad fi>Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, Mifta>h}al-Fala>h}wa Mis}ba>h}al-Arwa>h}, `Unwa>n al-Tawfi>q fi> Ab al-T{ari>q. Sebagian besar karyabeliau berbentuk risa>lah’ uraian singkat dan padat.Hakikat Makrifat menurut Ibnu AthaillahIbnu Athaillah mendefinisikan makrifat ke dalam beberapaaspek. Pertama, secara etimologi makrifat adalah mencapaipengetahuan terhadap sesuatu terkait diri dan sifatnya sesuaidengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kedua, definisi secaraterminologi terbagi ke dalam dua tingkat; khusus dan umum makrifat berarti menetapkan eksistensi Allah,mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya,dan menetapkan sifat-sifat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuaidengan konsep yang digambarkan Allah pada diri-Nya secara khusus makrifat berarti bentuk penyaksian batinterhadap Allah. Definisi lain yaitu bentuk keyakinan yang dihasil-kan dari usaha-usaha Dengan demikian, Ibnu Athaillahmendefinisikan makrifat sesuai dengan stratifikasi spiritual sa>lik’,di mana pada strata pertama hanya bentuk penetapan wujud,penyucian, dan penyifatan. Sementara pada strata kedua denganpenyaksian secara seluruh realitas yang ada dalam pengenalan kepadaAllah menurut Ibnu Athaillah terbagi menjadi tiga. Pertama, tiadasatupun dalam realitas yang tidak mengenal Allah. Seluruh yang adaini mampu mengenal karakter umum nama-nama, sifat-sifat,perbuatan juga karakter zat-Nya. Makrifat inilah yang menjadi ke-wajiban pertama dalam Makrifat ini juga beliau sebut se-bagai ma’rifat al-h}aq’. Namun, istilah ma’rifat al-h}aq’ ini lebih di-tekankan pada objek asma>’ dan sifat Allah SWT tanpa disertai Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h}..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad fi> Marifah al-Ism al-Mufrad,Edited by Mahmud Taufiq al-Hakim, Mesir Maktabah Madbu>li, 2002, Ibid., 139. Moh. Isom Mudin160Journal KALIMAHKedua, tiada satupun realitas yang ada dapat mengenal ini dari aspe k ih}a>t}ah’.15 Pengetahuan inimeliputi esensi dan eksistensi zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Secararasio murni, mengenal Pencipta yang bersifat wujud absolut wuju>dal-mut}laq, tanpa permulaan dan akhiran, serta Esa dalam segalaaspeknya adalah nihil, karena termasuk dalam kategori al-ih}a>t}ah’objek dengan subjek-Nya ih}a>t}ah al-maf`u>l bi fa>’ilihi. Makrifat initidak mungkin bagi makhluk namun wajib bagi Allah, karena Diayang mengetahui secara absolut tanpa Makrifat ini juga iasebut dengan ma’rifat h}aqi>qah’. Namun, istilah ini lebih ditekankanpada objek zat Allah yang mengenal Allah hanya Allah. Pengetahuan inidari aspek penguatan informasi mutlak dengan pengetahuanmutlak tah}qi>q al-ih}a>t}ah bi ilmihi al-mut}laq. Allah mewujudkansegala yang wujud, mengadakan dan mengatur segala yang demikian, objek makrifat yang dikenal adalah zat,nama, sifat, dan perbuatan Allah. Seluruh realitas ciptaan-Nyamampu mengenal objek makrifat tersebut dengan kelemahanuntuk mengenal eksistensi dan esensi mutlak-Nya. Seluruhmakhluk tidak akan mampu mengetahui tentang esensi Tuhansesuai dengan pengetahuan Tuhan. Oleh sebab itu, Allah SWTdalam hal ini menjadi Subjek yang mengenal’ dan sekaligusmenjadi Objeknya sendiri yang dikenal’.Tampaknya, pembagian dalam kemungkinan pengenalanterhadap Allah ini juga dilakukan para sufi lain walaupun tidakpersis sama. Sufi-sufi tersebut seperti al-Kalabadzi, al-Thusi, danal-Kamsykhawi al-Naqsyabandi. Manusia hanya berkemungkinanmenetapkan sifat keesaan wah}da>niyyah sesuai dengan sifat-sifatAllah, makrifat yang seperti ini disebut ma’rifat al-h}aq’. Adapunsecara hakiki mereka tidak bisa mencapainya karena terhalang sifatal-s}amadiyyah’ dan hakikat ketuhanan secara mutlak tah}aqquq15 Al-Ih}a>t}ah adalah mempersepsikan idra>k sesuatu dengan sempurna baik luarmaupun dalam z}ahi>ran wa ba>t}inan, mengetahui sesuatu dari segala aspeknya. LihatMuhammad al-Adluny al-Idrisy, Mujam Mus}t}alah}a>t..., 10. Juga berarti mengetahui hakikatwujud objek, jenis objek, kadar materi objek, karakter objek, tujuan yang terbesit objek,segala yang ada tentang manfaat dan tidak bermanfaat bagi objek. Lihat Abu al-Baqa al-Kafawy, Mujam al-Kulliya>t fi> al-Mus}t}alah}a>t wa al-Furuq al-Lughawiyyah, Edited by AdnanDarwis dan Muhammad al-Musry, Beirut Muassasah al-Risa>lah, 1997, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad..., Ibid., Ibid., 135. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 161Vol. 14, No. 2, September 2016al-rubu>biyyah an al-ih}a>t}ah.19 Tetapi Ibnu Athaillah menjelaskanlebih terpernci dan adanya penambahan tah}qi>q al-ih}a>t}ah bi `ilmihial-mut}laq yang tidak dijelaskan sufi dan Jadzab; Sebuah Jalan PencapaianUntuk mencapai makrifat, para sufi umumnya menggunakanjalan sulu>k’. Dengan jalan ini, seorang sa>lik’ harus melewati jalanpanjang t}ari>qah, menempuh stasiun-stasiun spiritual maqa>ma>t,dan merasakan kondisi-kondisi jiwa ah}wa>l’, tentu dengan bentukpenyucian-penyucian diri tazkiyyah al-nafs dan olah batinriya>d}ah. Sehingga, dengan penyucian-penyucian tersebut, seorangsufi dapat sampai dalam bentuk makrifat Dengankata lain, sebagaimana ungkapan Ibnu Athaillah, jalan ini diawalidengan mu’a>malah’ dan berakhir dengan muwa>s}alah’.21Selain itu, para sufi juga menggunakan fenomena alam untukmengenal Allah. Hal ini seperti pernah dikatakan oleh Dzun al-Nunal-Mishri w. 145 bahwa mengenal Allah adalah dengan melaluibukti Imam al-Ghazali juga menyebutkan bahwajalan untuk mengenal Allah dan mengagungkan-Nya berada padamakhluk-makhluk-Nya, dengan memikirkan keajaiban Perwujudan alam makhlu>q adalah bukti perwujudan namaAllah. Perwujudan nama-nama-Nya adalah bukti perwujudanadanya sifat-Nya. Perwujudan tetap sifat-sifat-Nya adalah buktiperwujudan zat-Nya. Hal ini karena, mustahil sifat tersebut adadengan sendirinya tanpa ada zat yang disifati; yaitu Abu Bakar al-Kalabadzi, Al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tas}awwuf, Beirut Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 151; Abu Nashr Siraj al-Thusi, Al-Luma fi> al-Tas}awwuf, Editedby Abd Halim Mahmud and Abd al-Baqi al-Surur, Kairo Da>r al-Kutub al-H{adi>tsiyyah,1960, 5; Al-Kamsykhawi Naqsyabandi, Ja>mi al-Us}u>l fi> al-Awliya> wa Anwa>ihim waAws}a>fihim wa Us}u>l Kulli T{ari>qin wa Muhimmah al-Muri>d wa Syuru>t} al-Syaikh wa Kalimahal-S{u>fiyyah wa Is}t}ila>h{uhum wa Anwa> al-Tas}awwuf wa Maqa>ma>tuhum, Mesir al-Mat}baahal-Wahbiyyah, 1298 H, Abu al-Wafa al-Ghanaimi al-Taftazani, Dira>sa>t fi>..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Abd al-Qahir Mahmud, Falsafah al-S{u>fiyyah fi> al-Isla>m, Kairo Da>r al-Fikr al-Araby, 1966, Abu Hamid al-Ghazali, Al-H{ikmah fi> Makhlu>qa>t Alla>h Azza wa Jalla, KediriMuhammad Utsman, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah al-Kubra wa al-S}ugra wa al-Muka>taba>t, Beirut Da>r al-Kutub al-`Alamiyyah, 2006, 52-53. Argumen seperti ini jugadisebut itsba>t wuju>dillah’, setidaknya, ada tiga argument yang digunakan para filsuf danmutakalim 1 argumen keberadaan alam cosmology, 2 argumen sebab akibat causality, Moh. Isom Mudin162Journal KALIMAHJalan suluk yang digunakan tersebut di atas mendapat kritik-an filosofis-estetis dari Ibnu Athaillah. Menurutnya, jalan suluktersebut mempunyai kelemahan-kelemahan yang berkisar padasarana pembuktian mustadal bih dan pencari bukti mustadilalaih. Pertama, mustadal bih’ dalam jalan suluk adalah keberadaanalam yang mustahil bisa mengantarkan untuk mengenal adalah karena fenomena alam itu sendiri wujudnyamasih membutuhkan Allah. Bagi Ibnu Athaillah, seluruh eksistensiyang ada masih tergantung pada eksistensi Allah. Eksistensi yangada sebenarnya tidak lebih jelas dibanding Allah, sehingga manamungkin sesuatu tidak jelas mengantarkan kepada sesuatu yanglebih jelas. Allah juga tidak pernah tidak hadir dan selalu dekat,sehingga tidak perlu menggunakan instrumen sekunder berupakeberadaan alam untuk membuktikan kehadiran-Nya dan untuksampai kepada-Nya. Dengan kata lain, keberadaan Allah tidak perlupembuktian lagi karena Dia lebih jelas daripada bukti itu mustadil alaih’ menunjukkan kelemahan dirinya. Denganmenggunakan sarana sekunder menunjukkan bahwa merekabelum mencapai wus}u>l’ dan masih tergolong ahl h}ija>b’.25Selanjutnya, Ibnu Athaillah mengembangkan jalan tersendiriuntuk mencapai makrifat. Jalan ini disebut al-jadzab’ tarikanmetafisis dan sufi yang menggunakan jalan ini disebut arba>b al-jadzb’ atau majdzu>bi>n’. Jalan ini merupakan kebalikan jalan sejak permulaan perjalanannya, seorang sufi di-jadzab-kan oleh Allah dengan disingkapkan kesempurnaan zat-Nyasehingga langsung mengenal-Nya. Setelah mereka ditarik’langsung oleh Allah, baru kemudian melalui Allah, mereka akandikembalikan untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu dikembalikanuntuk bergantung pada nama-Nya, kemudian dikembalikan untukmenyaksikan alam-Nya. Ibnu Athaillah mengistilahkan perjalananjadzab’ dengan penurunan tadally.2 6Seorang majdzu>b terlebih dahulu sampai kepada Allah, laludia secara perlahan-lahan dikembalikan oleh Allah ke jalandan 3 argumen kemungkinan contingency. Lihat Ibnu Sina, Kita>b al-Naja>t, Edited byMajid Makhri, Beirut Da>r al-Aq al-Jadi>dah, 1985 M, 276-277; Al-Syahrastani, Al-Milalwa al-Nih}al, Vol. 1, Kairo Muassasah al-H{alaby, 1968, 94; Ibnu Sina, Al-Isya>rat wa al-Tanbi>ha>t, Edited by Sulaiman Dunya, Mesir Da>r al-Ma`a>rif, 1957, Kesimpulan ini diambil dari hikmah dan munajatnya. Lihat Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 9, 19, 29, Ibid., 52-53. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 163Vol. 14, No. 2, September 2016mu’a>malah’.27 Jadi, dalam jalan jadzab ini bukan sufi yang inginmengenalkan dirinya pada Allah, tetapi Allah-lah yang inginmemperkenalkan diri-Nya pada hamba Ibnu Athaillah jalan ini lebih sempurna dibandingjalan para sufi umumnya. Pertama, hal ini karena dalam jalan jadzabseorang sufi mengerti kebenaran bagi pemiliknya, sehinggamenetapkan segala sesuatu dengan merujuk kepada pengenalan pada Allah dengan Allah sendiri, Allah sebagaiobjek juga sebagai sarana primer. Para arba>b al-jadzb sebenarnyatelah wus}u>l pada Menurut Ibnu Athaillah Seorang majdzu>b sebenar-nya juga melewati fase-fase spiritual, namun perjalanan dilakukanlebih cepat karena jalan jadzab ini pada hakikatnya jalan yang dilipattuwiyat oleh ina>yah Allah, bahkan tanpa persiapan membuat perumpamaan sufi suluk mencari air denganmenggali sumur sedikit demi sedikit, sehingga air keluar darilubang sumbernya. Sementara ini sufi jadzab seperti orang yangmencari air, tiba-tiba turun awan menurunkan hujan lebatpadanya, dan ia mengambil air seperlunya tanpa perlu antara kedua kelompok dan jalannya, konsep jadzab inilahyang mencirikan aliran tasawuf Ibnu Athaillah secara khususdengan sufi-sufi yang Menurut Syekh Zaruq, kedua jalan,suluk maupun jadzb adalah representasi tingkat ihsan’. Ihsanadalah engkau menyembah Allah seperti engkau melihat-Nya,apabila engkau tidak sanggup melihat-Nya, maka Dia Dalam hadis ini, ihsan tingkat pertama adalah sepertimelihat Allah dan yang kedua adalah merasa dilihat yang jadzab seperti melihat Allah adalah kelompokorang-orang yang telah mengenalnya di awal suluk. Kelompok sa>likadalah kelompok yang masih berada di bawah peringkat kelompok27 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 9, 29; Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muna>ja>h al-Ilahiyyah, Munajat 19, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Ta>j al-Aru>s al-H{a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s, KairoJawa>mi` al-Kalim, Ibnu Ibad al-Arundi, Ghaits Mawa>hib al-ASyarh} al-H{ikam al-At}a>iyyah,Jil. 2, Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al-Arabiyyah, Abu al-Husain Muslim, S{ah}i>h} Muslim, Riyadh Bait al-Afka>r al-Dauliyyah, 1998,6. Moh. Isom Mudin164Journal KALIMAHarif yang merasa dilihat Allah. Ia membuktikan Allah melalui pertama inilah yang ditempuh oleh Ibnu Athaillah danpara sufi dari kalangan Syadzi Den gan demikian,walaupun Ibnu Athaillah membangun jalan makrifat dengan jadzab,namun beliau tidak mengingkari jalan Makrifat; Penyaksian Keesaan MutlakMe n urut Ibnu Athaillah, Allah SWT mem iliki s ifatah}adiyyah’. Kata ini terbentuk kata al-ah}ad’ yang bemaknakesendirian mutlak dalam keesaan dengan tiada sesuatupun yangbersama-Nya’, al-ah}ad’ juga merupakan istilah yang digunakanuntuk menafikan keterbilangan Menurut Ibnu`Arabi, al-ah}adiyyah adalah martabat zat absolut. Allah dalammartabat ini merupakan wujud tunggal dan mutlak, yang belumdihubungkan dengan nama, sifat, dan sandaran, tidak menerimapembagian’. Jadi ah}adiyyah adalah totalitas dari potensi majmu>`kullihi bi al-quwwah.35 Allah ada dalam azali dengan tiada sesuatu-pun yang bersama-Nya, sifat ini tidak berubah dan selalu tetapseperti keadaan Keesaan mutlak ini tidak terjangkau olehangan-angan, akal pikiran yang mencapai tahapan makrifat akan menyaksikan sifatkeesaan Allah secara mutlak ini38 dengan h}aqq al-bas}i>rah’, bukandengan indra zahir atau spekulasi akal. Dalam pandangan matabatin seorang arif akan selalu terbesit bahwa hanya Allah-lah yangberhak menyandang sifat wujud absolut. Wujud segala sesuatuselainnya hanya bersifat relatif muqayyad,3 9 banyangan semuz}ill, nihil adam, bagaikan debu di udara al-haba’ fi> al-hawa.Hal ini Karena wujud relatifnya diwujudkan oleh Allah40 denganproses i>ja>d’ dan keberlangsungan wujudnya hanya karena Allahdengan adanya proses imda>d’.41 Oleh sebab itu, dalam tahap33 Zaruq al-Affasy, Qawa>id al-Tas}awwuf..., Ibnu Mandzur, Lisa>n al-Arab, Kairo Da>r al-Ma`a>rif, 35. Ibnu Arabi,Fus}u>s al-H{ikam, Edited by Abu al-Ala al-Fifi, Beirut Da>r al-Kita>b al-’Arabiyyah, Ibnu Araby, Fus}u>s..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 11, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r, Kairo Da>r al-Sala>tsah, 2007, Ibnu Athaillah, Al-Qas}d al-Mujarrad fi>..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 15, 33, 97, 98. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 165Vol. 14, No. 2, September 2016ontologis, wujud segala yang ada dengan sendirinya akan terhapuskerena sifat ah}adiyyah’ Karena dalam tahap ini apabilamasih ada wujud lain bersama’ wujud Allah, maka sifat ah}adiyyah’tidak terealisasikan, konsekuensinya akan ada sifat keterbilangandan kebersekutuan dalam diri proses syuhu>d al-ah}adiyyah’, juga tersingkap hakikatketuhanan secara global. Sehingga mereka tidak mengerti maksudketersingkapan tersebut. Hal ini karena bentuk kuantitas ataukualitas ketersingkapan tersebut berada di luar nalar akal setelah proses ketersingkapan tersebut terjaga baru seorangarif akan mengerti maksudnya secara syuhu>d al-ah}adiyyah’ Ibnu Athaillah sebenarnya tidakjauh berbeda dengan sufi-sufi yang lain. Misalnya Imam al-Ghazalimenyebut tingkatan ini sebagai fana> fi> al-tawh}i>d’ atau tawh}i>d al-muqarrabi>n’.45 Al-Attas menyebutnya The Unity of Existence’. Lebihjauh al-Attas menggambarkan bahwa tahapan ini disepakati olehmayoritas sufi seperti Junaid al-Baghdadi, Abu Nashr al-Sarraj, Alial-Hujwiri, Abu al-Qasim al-Qushayri, Abd Allah al-Ansari, al-Ghazali, Ibnu Arabi, Sadr al-Din al-Qunyawi, Abd Razaq al-Qashani,Dawud al-Qasyari, dan Abd al-Rahman Ibid., 46, Ibnu Ibad al-Arundy, Ghaits Mawa>hib al-Aliyyah…, Jil. 1, 103-104; Abu Hamidal-Ghazali, Misyka>t al-Anwa>r, Edited by Abd al-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan, Beirut Ab, 1986 M, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 32, 141. Hal ini juga diaminioleh sufi yang lain seperti Imam al-Qusyairi. Lihat Zaruq al-Afasi, H{ikam al-At}a>iyyah,Kairo Da>r al-Syu’aib, 1985, Abu Hamid al-Ghazali, Ih}ya> Ulu>m al-Di>n, Jil. 4, Semarang Usaha Keluarga, 240; Abu Hamid al-Ghazali, Misyka>t..., Ia mengatakan “This School this school presented type of intuition of existensepresented the vision of reality as as they envisaged it based on the second type of intuition ofexistence. They affirmed the transcendent unity of existence wah}da>t al-Wuju>d. Among thenotable early representatives of this school after Junaid were Abu Nashr al-Sarraj, Ali al-Hujwiri, Abu al-Qasim al-Qushayri and Abd Allah al-Ansari. To this school also belonged al-Ghazali. But their chief exponent was Ibnu Arabi, who first formulated what originally given inintuition of existence into an intregated metaphisics expressed in rational and intellectual his erudite commentators were Sadr al-Din al-Qunyawi, Abd Razaq al-Qashani,Dawud al-Qasyari, Abd al-Rahman al-Jami; and his doctrine of the Perfect Man al-Insa>n al-Ka>mil was developed by Abd al-Karim al-Jili. The philosophical expression of transcendentunity was formulated by Shadr al-Din al-Shirazi, called Mulla Shadra, whose metaphisicsbears marked traces of the thoughts of Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Araby, and Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Expositionof the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur ISTAC, 1995, 214-215. Moh. Isom Mudin166Journal KALIMAHKondisi SpiritualPenyaksian atas keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyyah yangdialami seorang a>rif bi Allah’ memengaruhi sisi psikologis Athaillah menyebutkan bahwa tingkatan kondisi psikologisseseorang; pertama, mereka tenggelam dalam cahaya tauhid,sehingga segalanya menjadi sirna. Dengan kata lain, ketidaksadaranakan sekitar sakr mengalahkan kesadaran sahw mereka,penyaksian tunggal jam` mangalahkan penglihatan pada makhlukfarq, fana>`nya mengalahkan baqa>’, ketidakhadiran bersamamakhluk ghaibah mengalahkan hadirnya mereka h}ud}u>r.47Setelah keadaan ini berlangsung, apabila dia sadar maka akan naikke kelompok kedua, namun dimungkinkan mereka tidak di-kembalikan sebagaimana keadaan tingkatan a>rif bi Alla>h’ yang kedua lebih sempurnadibanding yang pertama. Kelompok ini juga merasakan apa yangdirasakan oleh kelompok pertama, namun mereka disadarkan olehAllah, setelah sakr mereka juga mengalami sahw, setelah ghaibahmereka juga mengalami h}ud}u>r, sehingga jam’ tidak menghalangifarq ataupun sebaliknya. Begitu kondisi-kondisi yang lain sepertifana>’ dan baqa>’.49 Namun, kesadaran pertama mereka memilikiperbedaan dengan kesadaran yang kedua, mereka selalu bersamaAllah dalam segala Sehingga, mereka dapat mengendali-kan pikiran kesadaran akan al-atsar ini memiliki perbedaandengan penglihatan sebelum mencapai makrifat. Mereka kembalidengan memakai cahaya kiswah al-anwa>r dan hidayah penglihatanbatin hida>yah al-istibs}a>r. Sehingga mereka kembali kepada Allahda ri al-atsar terseb ut sebaga imana mereka m e n uju Allahmeninggalkan al-atsar. Jadi, hati mereka sudah tidak terbelenggudan tertawan oleh sisi lain, terjadi perbedaan ungkapan dalam meng-ekspresikan hakikat yang tersingkapkan pada mereka. Ekspresiini dalam istilah Ibnu Athailah disebut “al-isya>rah” dan “al-’iba>rah”.47 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muka>taba>t..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muna>ja>h..., 73, 21. Kondisi seperti ini dalamistilah Sayyid Naquib al-Attas disebut first separation’ al-farq al-awwal dan secondseparation’ al-farq al-tsa>ni>. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, 178. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 167Vol. 14, No. 2, September 2016Kelompok pertama sering tidak bisa mengendalikan gejolak jiwamereka karena menerima tajalli yang tidak tergambarkan faid}a>nwujd.52 Tak jarang ketika sampai pada tahap tertentu sering keluarekspresi-ekspresi spiritual yang sulit dicerna syat}a>h}at karenatarikan Kebanyakan ekpresi ini diingkari oleh orangyang Kondisi ini tidak terpuji karena berusahamengungkap rahasia ketuhanan padahal mereka belum itu mereka sebenarnya belum sempurna karena meng-anggap bahwa Allah lebih dekat daripada ekspresi tersebut, artinyamasih terdapat rukun’ kelompok kedua, mereka dapat menguasai dirimereka dalam proses tajalli. Mereka fana dari kefanaan,57 merekada lam ekstra kedekatan sehi ngga tidak merasakan Lisan terkunci tanpa Isya>rah akan hakikatketuhanan tersebut tidak terucap ketika tajalli namun merekakeluarkan ketika perlu, adakalanya untuk memberikan bimbinganke pada mur Ekspresi ini bai k is ya>ra h maupun iba>ra hkebanyakan diterima oleh siapa yang mendengar,61 karena ekspresitersebut dapat dipahami orang Ibnu Athaillah mengambiljalan moderat dalam isya>rah, yaitu secara lahir ada perpisahannamun secara batin merasakan hal tersebut al-farq ala lisa>nikmauju>dan wa al-jam’ fi> bat}i>nik mayhu>da.6352 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, Contoh syat}a>h}at, seperti aku bukan aku aku aku, karena aku adalah Dia, akuDia’, Ungkapan ini sering dialamatkan kepada Abu Yazid, lihat Qasim Muhammad `Abbas,Abu> Yazi>d al-Bust}a>miy al-Majmu>`ah al-S}u>fiyyah al-Ka>milah, Damaskus al-Mada>, 2004,42; Aku yang Maha Benar` Ana al-H}aq, lihat Lois Massignon, Di>wa>n al-Halla>j, ParisMansyurat Asmar, 2008, 22. Tiada sesuatu dalam diri ini kecuali Allah’ ma> fi> al-jubbahilla Alla>h, lihat al-Syarqawi, Syarh} al-H}ikam bi Ha>misy Syarh} al-H}ikam Ibn Iba>d, Jil. 2,Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al-Arabiyyah, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if ..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, 184, Ibid., 20, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h wa Mis}ba>h}..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 20, Ibid., 40, 184, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, 184, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., 159-160. Moh. Isom Mudin168Journal KALIMAHTersingkapnya HijabDengan demikian dapat dikatakan hijab antara seorang a>rifbi Allah dengan Allah sudah terbuka. Dalam hal ini Ibnu Athaillahmenyebutkan sepuluh sebab kondisi tersingkapnya hijab arif menyaksikan Allah karena beberapa hal, pertama,Allahlah yang menampakkan segala sesuatu. Kedua, Dia tampakpada segala sesuatu. Ketiga, Dia ada dalam segala sesuatu. Keempat,Dia tampak untuk segala sesuatu. Kelima, Dia tampak sebelumsegala sesuatu. Keenam, Dia lebih tampak dari segala Dia Esa tanpa ada sesuatu yang bersama-Nya. Kedelapan,Dia lebih dekat dari segala sesuatu. Kesepuluh, jika bukan karenaDia, segala sesuatu tidak akan terwujud. Proses tersingkapnya hijabini merupak an bukti kekuasaan Tuhan, kare na bagaima nakeberadaan wuju>d bisa tampak dalam ketiadaan adam. Atau,bagaimana mungkin sesuatu yang baru bisa bersanding denganyang Maha Allah dalam Setiap TindakanPenyaksian a>rif bi Alla>h terhadap cakarawala al-kaun danal-atsar terbagi menjadi beberapa bentuk; menyaksikan Allahdalam segala sesuatu,65 menyaksikan Allah pada atau bersama segalasesuatu, menyaksikan Allah sebelum melihat segala sesuatu,menyaksikan Allah setelah melihat segala sesuatu. Hal ini karenapenglihatan batin mereka merasakan bahwa keberadaan alam iniawalnya gelap kemudian diterangkan oleh cahaya masing-masing penyaksian ini adalah pertama,mereka melihat Allah sebagai Zat yang Maha Jelas al-Z{a>hir danber-tajalli dengan asma dan sifat-Nya dalam segala mereka mengatakan, “Aku tidak melihat segala sesuatukecuali aku melihat Allah di dalamnya.” Penyaksian seperti ini jugadisebut musya>hadah fi`l bi fi`l’. Kedua, mereka melihat Allah sebagaiZat yang Maha Mengetahui al-Adir, segalayang ada sangat bodoh dan lemah. Penyaksian seperti ini jugadisebut musya>hadah s}ifah bi s}ifah’ sehingga mereka mengatakan,“Aku tidak melihat segala sesuatu kecuali aku melihat Allahbersamanya.” Ketiga, mereka melihat Allah sebagai Wuju>d Qidam’,64 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 6, Ibid., Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 169Vol. 14, No. 2, September 2016segala yang ada hanya bersifat baru dan nihil al-h}udu>ts wa al-adam, sehingga mereka mengatakan, “Aku tidak melihat segalasesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya.” Penyaksian sepertiini juga disebut musya>hadah Dzat bi Dzat’. Keempat, merekamelihat Allah sebagai wujud yang Kekal Baqa>’, segala yang adahanya fatamorgana fana>’, sehingga mereka mengatakan, “Akutidak melihat segala sesuatu kecuali aku melihat Allah sesudahnya.”Penyaksian seperti ini tidak terdeteksi oleh isya>rah dan iba> pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa makrifatpara sufi bukanlah hasil penalaran spekulatif melainkan hasil daripenyaksian langsung terhadap Allah SWT. Makrifat adalahmenetapkan eksistensi Allah, transendensi kesucian, sifat-sifatdengan sebenarnya, juga bentuk penyaksian batin dan keyakinansebagai buah dari ibadah. Inti makrifat adalah kelemahan untukmencapai makrifat hakiki, karena yang dapat mengenal Allahhanyalah Allah sendiri, sedangkan makhluk hanya dapat mengenal-nya s esuai kemampuan mereka, maka kele mahan dala mbermakrifat adalah jalan yang dapat ditempuh bisa dengan jalan normalsuluk atau jalan tarikan langsung jadzab’. Dalam pandangan IbnuAthaillah jalan jadzab lebih utama dibandingkan dengan mereka dapat mengenal Allah lebih cepat dibanding jalansuluk. Jalan suluk maupun jadzab ini adalah representasi dari duatingkatan ihsan. Namun demikian, belum ditemukan dengan jelaslangkah formal meniti jalan jadzab. Jalan suluk ini bisa dilalui olehsiapapun sehingga bisa diterapkan dalam masyarakat. Tidakde mikian den gan jadzab, jal an ini sulit dite r apkan dal mencapai tahap wus}u>l dalam bentuk makrifat, paraarif akan menyaksikan keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyah yangberada di luar jangkauan akal dan logika pikiran. Mereka menyaksi-kan dengan h}aqq al-bas}i>rah’ mereka. Penyaksian atas keesaan66 Ibnu Athaillah, al-Qas}d al-Mujarrad..., 22, 23. Apabila ditelusuri lebih lanjut,proses penggabungan penyaksian Allah dan alam ini berasal dari Syaikh Ibnu Masyis,guru dari generasi pertama Tarekat Syadziliyyah. Lihat Abd Halim Mahmud, Qad}iyyahal-Tas}awwuf al-Madrasah al-Sya>dziliyyah, Kairo al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, 2010, 19. Moh. Isom Mudin170Journal KALIMAHmutlak syuhu>d al-ah}adiyyah yang dialami seorang a>rif bi Alla>hmemengaruhi sisi psikologis mereka. Pertama, mereka merasakanfana>’, jam`, ghaibah, sakr, dan kondisi yang lebih sempurna adalahpenggabungan fana>’ dan baqa>’, sakr dan shahw, ghaibah dan hud}u>r,jam` dan farq. Penyaksian dan kondisi spiritual mereka meme-ngaruhi penglihatan mereka pada alam sekitar. Di mana merekamenyaksikan fi`l dengan fi`l, s}ifah dengan s}ifah, dza>t dengan dza> Allah di segala sesuatu, dalam segala sesuatu, sebelumalam, sesudah segala sesuatu. Secara keseluruhan teori makrifatIbnu Athaillah adalah inti tauhid yang menggabungkan Islam,iman, dan saran-saran adalah sebagai berikut; tasawuf merupa-kan roh peradaban Islam, oleh sebab itu, mengkaji dan menerapkan-nya dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan. Sejauh ini,banyak peneliti yang antipati terhadap tasawuf dan menghakimi sufidengan sesat bahkan kufur, atau yang menelan mentah-mentahajarannya sesuai makna literal kalimat. Maka sebaiknya, peneliti harusmemahami bahasa mereka dan merasakan apa yang mereka PustakaAbbas, Qasim Muhammad. 2004. Abu> Yazi>d al-Bust}a>miy al-Majmu>ah al-S{u>fiyyah al-Ka>milah. Damaskus al-Mada>.Abd al-Munim, 1992. Al-Mausu>ah al-S{u>fiyyah Ala>m al-Tas}awwufwa al-Munkiri>n alaih wa al-T{uruq al-S{u>fiyyah. Kairo Dar> al-Irsya> Zaruq. 1985. H{ikam al-At}a>iyyah. Kairo Da>r al-Syu’ Ibnu Ibad. Ghaits Mawa>hib al-A Syarh}al-H{ikam al-At}a>iyyah, Jil. 2. Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutubal- Ibnu Hajar. 1993. Al-Durar al-Ka>minah fi>Aya>n Miahal-Tsa>minah, Vol. 1. Beirut Da>r al-Ji> Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to theMetaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elementof the Worldview of Islam. Kuala Lumpur William C. 2007. Sufism a Short Introduction. UK OneWorld Abu Hamid. 1986. Misyka>t al-Anwa>r, Edited by Abdal-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan. Beirut Ab. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 171Vol. 14, No. 2, September 2016. Al-H{ikmah fi> Makhlu>qa>t Alla>h Azza wa Jalla. KediriMuhammad Utsman.. Al-Munqidz min al-D{ala>l. Beirut al-Maktabah al-Syabiyah.. Ih}ya>Ulu>m al-Di>n, Jil. 4. Semarang Usaha Arabi. Fus}u>s al-H{ikam, Edited by Abu al-Ala Da>r al-Kita>b al-’ Manzur. Lisa>n al-Arab. Kairo Da>r al-Ma’a> Sina. 1957. Al-Isya>rat wa al-Tanbi>ha>t, Edited by SulaimanDunya. Mesir Da>r al-Maa>rif.. 1985. Kita>b al-Naja>t, Edited by Majid Makhri. Beirut Da>ral-Aq al-Jadi> Muhammad al-Adluni. 2002. Mujam Mus}t}ala>h}a>t al-Tas}awwuf al-Falsafiy. Jordan Da>r al-Tsaqa> Abu al-Baqa.1997. Mujam al-Kulliya>t fi> al-Mus}t}alah}a>twa al-Furuq al-Lughawiyyah, Edited by Adnan Darwis danMuhammad al-Musry. Beirut Muassasah al-Risa> Abu Bakar. 1993. Al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tas}awwuf. Beirut Da>r al-Kutub al- Ibrahim. 1983 M/1403 H. Al-Mujam al-Falsafi. Kairoal-Haiah al- Abd al-Qahir. 1966. Falsafah al-S{u>fiyyah fi> al-Isla> Da>r al-Fikr al- Abd Halim. 2010. Qad}iyyah al-Tas}awwuf al-Madrasahal-Sya>dziliyyah. Kairo al-Maktabah al-Taufi> Ibnu Farhun. 1415 H. Al-Di>ba>j al-Madzhab fi> MarifahAya>n Ulama>’ al-Madzhab, Vol. 1. Kairo Da>r al-Tura> 1326 H. Al-Mawa>’iz} wa al-Itiba>r bi Dzikr al-Khut}at}wa al-Atsa>r, Vol. 4. Mesir Maktabah Ji>l.. 1997. Al-Sulu>k li Marifah Duwal al-Mulu>k Vol. 1. Editedby M. Abd al-Qadir Atha. Beirut Da>r al-Kutub al- Lois. 2008. Di>wa>n al-Halla>j. Paris Mansyurat Abu al-Husain. 1998. S{ah}i>h} Muslim. Riyadh Bait al-Afka>ral-Dauliyyah. Moh. Isom Mudin172Journal KALIMAHAl-Nabhani, Yusuf Ismail. 2001. Ja>mi’ Kara>ma>t al-Awliya>’, Vol. Maraz Ahl Sunnat Amir. Al-T{uruq al-S{u>fiyyah fi> Mis}r Nasyaatuha> waNaz}muha>wa Wuru>duha>. Kairo Da>r al-Maa> Al-Kamsykhawi. 1298 H. Ja>mi al-Us}u>l fi> al-Awliya>wa Anwa>ihim wa Aws}a>fihim wa Us}u>l Kulli T{ari>qin waMuhimmah al-Muri>d wa Syuru>t} al-Syaikh wa Kalimah al-S{u>fiyyah wa Is}t}ila>h}uh um wa Anwa> al-Tas}awwuf waMaqa>ma>tuhum. Mesir al-Mat}baah 1989 M/1409 H. Risa>lah Qusyairiyyah. Edited bySyekh Abd Halim Mahmud bin Syarif. Kairo Da>r al-Sya Ibnu Athaillah. 2002. Al-Qas}d al-Mujarrad fi> Marifahal-Ism al-Mufrad, Edited by Mahmud Taufiq al-Hakim. MesirMaktabah Madbu>li.. 2006. Al-H{ikam al-At}a>iyyah al-Kubra wa al-S{ugra wa al-Muka>taba>t. Beirut Da>r al-Kutub al-’Alamiyyah.. 2006. Lat}a>if al-Mina>n. Edited by Abd Halim Da>r al-Ma’a>rif, Cet. 3.. 2007. Al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r. Kairo Da>r al-Sala>m al-H{adi>tsah.. Mifta>h} al-Fala>h} wa Mis}ba>h} al-Arwa>h} fi> Dzikrilla>h al-Kari>m al-Fatta>h. Beirut Da>r al-Kutub al-Aj al-Aru>s al-H}a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s. Kairo Jawa>mi’ Syarh} al-H}ikam bi Ha>misy Syarh} al-H{ikam IbnIba>d, Jil. 2. Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al- Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1957. Dira>sa>t fi>al-Falsafahal-Isla>miyyah. Kairo Maktabah al-Qa>hirah al-H{adi>tsiyyah.. 1969. Ibn At}a>illah wa Tas}awwufuh. Kairo Maktabah al-Mis}riyyah, Cet. Abu Nashr Siraj. 1960. Al-Luma fi> al-Tas}awwuf, Editedby Abd Halim Mahmud and Abd al-Baqi al-Surur. Kairo Da>ral-Kutub al-H{adi>tsiyyah.} Achmad FauziAndewi SuhartiniNurwadjah AhmadPendidikan merupakan tahap penting dalam menumbuhkan, mengembangkan, dan memperkuat kesadaran diri manusia ma’rifatun nafs. Pendidikan dalam tujuannya harus mampu menjadi jalan manusia untuk mengenali dirinya ma’rifatun nafs sehingga mampu meeraih tujuan yang utama yang mengenali Tuhannya ma’rifatullah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan makna pendidikan sebagai upaya pengembangan kesadaran manusia ma’rifatun nafs. Penelitian ini menggunakan jenis studi kepustakaan library research, metode deskriptif dan pendekatan kualtitatif. Pendekatan ini digunakan karena data-data atau bahan-bahan yang diperlukan dalam menyelesaikan penelitian tersebut berasal dari perpustakaan baik berupa buku, ensklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam upaya kesadaran diri ma’rifatun nafs manusia sebagai jalan menuju tujuan pendidikan yang utama yaitu ma’rifatullah. Namun, ada beberapa masalah yang dihadapi Terkadang, ada di antara manusia ingin menggapai ma'rufatullah tanpa memulai pemahaman lebih mendalam siapa dirinya sesungguhnya ma'rifatun nafs. Akhirnya, manusia tersebut tidak akan menemukan apa-apa kecuali keputusasaan atau kerancuan dalam pemikiran. Selama seseorang ada rasa “keakuannya” maka hal tersebut belum dapat disebut ma'rifatunnafs. Dengan demikian, ma'rifatunnafs sesungguhnya tidak lain adalah ma' NasihinThis study is aimed at describing the philosophical meaning of advice of Sasak parents from the perspective of Sufism. The advice reads mbe mbe laine lampaq dendeq lupaq jauq gaman mane manen besi polka”. This study is a literature study attempting to investigate the concept of Sasak Makrifat theoretically and philosophically. The researcher believes that the advice besides having an outward meaning also holds a very depth spiritual meaning in which gaman is not only a weapon as is generally, but also, gaman is another term for religion. After describing the meaning behind the term of the gaman, it can be concluded that the meaning of the advice is "wherever you go, do not forget your religious teachings. Please continue to repent so that the door of the search will open that will bring you to the climax point to meet the Lord. Then, you express your thanks. If you are not able to walk through these stages, it is enough to understand the meaning of His name from the initial letter of ba ' from the piece of bismillah word which means the beginning of everything ". William L. DamGIS A Short Introduction. N. Schuurman. 2004. Blackwell Publishing, Williston, VT. 169 pp. $ paperback. The technological revolution has changed our world, and the evolution of computer technology continues to redefine the landscape. In terms of computerized mapping of multidisciplinary fields of study, Professor Nadine Schuurman presents overwhelming scientific evidence of the indispensability of geographic information systems GIS.Ibnu 'Arabi, Fus} u> s al-H{ ikam Fus} u> s..., 90. 36 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah Da> r al-Sala> tsahIbnu MandzurIbnu Mandzur, Lisa> n al-'Arab, Kairo Da> r alMàa> rif, 35. Ibnu 'Arabi, Fus} u> s al-H{ ikam, Edited by Abu al-Ala al-Fifi, Beirut Da> r al-Kita> b al-'Arabiyyah, 90. 35 Ibnu Araby, Fus} u> s..., 90. 36 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah..., 11, 38. 37 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas} d al-Mujarrad..., 60. 38 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Tanwi> r fi> Isqa> t} al-Tadbi> r, Kairo Da> r al-Sala> tsah, 2007, 246. 39 Ibnu Athaillah, Al-Qas} d al-Mujarrad fi>..., 59-60. 40 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat} a> if..., 160-161. 41 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah..., 15, 33, 97, Yazi> d al-Bust} a> miy alMajmu> 'ah al-S{ u> fiyyah al-Ka> milahDaftar Pustaka 'abbasQasim MuhammadDaftar Pustaka 'Abbas, Qasim Muhammad. 2004. Abu> Yazi> d al-Bust} a> miy alMajmu> 'ah al-S{ u> fiyyah al-Ka> milah. Damaskus al-Mada>.Al-Mausu> 'ah al-S{ u> fiyyah A'la> m al-Tas} awwuf wa al-Munkiri> n 'alaih wa al-T{ uruq al-S{ u> fiyyahAbd Al-Mun 'imAbd al-Mun'im, 1992. Al-Mausu> 'ah al-S{ u> fiyyah A'la> m al-Tas} awwuf wa al-Munkiri> n 'alaih wa al-T{ uruq al-S{ u> fiyyah. Kairo Dar> alIrsya> ikam al-'At} a> iyyah. Kairo Da> r al-Syu'aibZaruq Al-AfasiAl-Afasi, Zaruq. 1985. H{ ikam al-'At} a> iyyah. Kairo Da> r al-Syu' Mawa> hib al-'A Syarh} al-H{ ikam al-'At} a> iyyah, Jil. 2. Indonesia Da> r Ih} ya> al-Kutub alIbnu Al-ArundiT IbadThAl-Arundi, Ibnu Ibad. Ghaits Mawa> hib al-'A Syarh} al-H{ ikam al-'At} a> iyyah, Jil. 2. Indonesia Da> r Ih} ya> al-Kutub al-' al-Ka> minah fi> A'ya> n Miah al-Tsa> minahIbnu Al-'asqalaniHajarAl-'Asqalani, Ibnu Hajar. 1993. Al-Durar al-Ka> minah fi> A'ya> n Miah al-Tsa> minah, Vol. 1. Beirut Da> r al-Ji> to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of IslamAl-AttasMuhammad SyedNaquibAl-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur Al-GhazaliHamidAl-Ghazali, Abu Hamid. 1986. Misyka> t al-Anwa> r, Edited by Abd al-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan. Beirut 'A ikmah fi> Makhlu> qa> t Alla> h 'Azza wa Jalla. Kediri Muhammad UtsmanT Al-H{ ikmah fi> Makhlu> qa> t Alla> h 'Azza wa Jalla. Kediri Muhammad Utsman.
Disini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama.

The hustle and bustle of the modern era, marked by an easy life, is relatively only able to provide physical pleasure, but is unable to provide physical and spiritual happiness. The phenomenon of life that is not balanced with this level of happiness, causes a void. The purpose of this study was to determine the meaning and ways of obtaining happiness according to Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, as well as its relevance to human life in the modern era. This research is a qualitative research that uses a library research approach. The analytical method used is a content analysis technique. The conclusion of this study, shows that the happiness referred to by Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari divided happiness in two dimensions, namely happiness in the World and happiness in the hereafter. Happiness actually exists in human. Happiness will be realized when humans are able to optimize the potential of the mind and the potential of the heart. The path to happiness can be attained by knowing the characteristics of the wordly life and suffering and reducing pleasures. Moral perfections will lead humans to true happiness, namely meeting Allah SWT in a state of faith. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 180 Kebahagiaan Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Ade Anang Suhada1, Muliadi2, Dodo Widarda3 1,2,3 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia adeanangsuhada98 muliadi1 dodowidarda Abstract The hustle and bustle of the modern era, marked by an easy life, is relatively only able to provide physical pleasure, but is unable to provide physical and spiritual happiness. The phenomenon of life that is not balanced with this level of happiness, causes a void. The purpose of this study was to determine the meaning and ways of obtaining happiness according to Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, as well as its relevance to human life in the modern era. This research is a qualitative research that uses a library research approach. The analytical method used is a content analysis technique. The conclusion of this study, shows that the happiness referred to by Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari divided happiness in two dimensions, namely happiness in the World and happiness in the hereafter. Happiness actually exists in human. Happiness will be realized when humans are able to optimize the potential of the mind and the potential of the heart. The path to happiness can be attained by knowing the characteristics of the wordly life and suffering and reducing pleasures. Moral perfections will lead humans to true happiness, namely meeting Allah SWT in a state of faith. Keywords Happiness, Heart potential, Library research, Mind potential, Morals. Abstrak Ingar-bingar yang terjadi di era modern, ditandai dengan kehidupan yang serba mudah, relatif hanya mampu memberikan kesenangan lahiriah semata, namun tidak mampu memberikan kebahagiaan jasmani dan rohani. Fenomena kehidupan yang tidak seimbang dengan tingkat kebahagiaan ini, menyebabkan suatu kehampaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan cara memperoleh kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, serta relevansinya dengan kehidupan manusia di era modern. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 181 menggunakan pendekatan studi pustaka library research. Metode analisis yang digunakan merupakan teknik analisis konten content analysis. Hasil dan pembahasan penelitian ini, menunjukan bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari merujuk pada kebahagiaan dua dimensi, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan tersebut sejatinya telah ada di dalam diri manusia. Kebahagiaan akan terwujud ketika manusia mampu mengoptimalkan potensi akal dan potensi hati. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan bisa diraih dengan mengenal karakteristik kehidupan dunia serta menekan dan mengurangi berbagai kesenangan. Kesempurnaan akhlak akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki, yaitu berjumpa dengan Allah SWT dalam keadaan iman. Kata kunci Akhlak, Kebahagiaan, Potensi akal, Potensi hati, Studi pustaka. Pendahuluan Manusia tidak terlepas dari berbagai macam persoalan dan problematika kehidupan. Tidak hanya itu, kehidupan manusia pun selalu diwarnai dengan berbagai macam keinginan dan harapan. Harapan terbesar manusia adalah kebahagiaan Hamim, 2016. Keanekaragaman manusia, serta dinamika kehidupan yang berbeda-beda menjadi salah satu faktor perbedaan makna kebahagiaan. Bagi sebagian orang, harta kekayaan adalah suatu kebahagiaan, sebagian lainnya beranggapan bahwa karir dan jabatan adalah kebahagiaan, bahkan terhindar dari berbagai macam masalah sekalipun adalah kebahagiaan. Jika kehidupan tidak seimbang dengan tingkat kebahagiaan, kehidupan manusia akan berdampak pada kehampaan Iman Setiadi Arif, 2018. Abad ke-21 ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi yang semakin cepat dan serba memadai. Namun, hal tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam tercapainya kebahagiaan. Di zaman modern, banyak manusia yang dilanda kegelisahan, kecemasan, stress, dan berbagai macam penyakit kejiwaan Tamami, 2011. Orientasi terhadap materi dan keduniaan, tampaknya hanya menambah beban dan menyebabkan disorientasi terhadap makna kebahagiaan itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr, bahwa manusia modern tengah mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan mengalami keterasingan, hal tersebut menyebabkan manusia modern kehilangan harapan akan kebahagiaan di masa depan seperti yang dijanjikan oleh renaisans, pencerahan, saintisme serta teknologisme Haidar Bagir, 2006. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 182 Di saat materialisme menguasai kehidupan manusia, telah terjadi redefinisi terhadap ukuran kebahagiaan. Hal ini ditandai dengan bunuh dirinya seorang aktor terkenal peraih Oscar, Robin William. Komponen-komponen yang selama ini dianggap sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesan, seperti kekayaan dan kekuasaan, perlu untuk diartikan secara lebih mendasar Muskinul Fuad, 2018. Terdapat banyak penelitian terdahulu yang membahas kebahagiaan, baik dari sudut pandang tasawuf maupun filsafat. Penelitian tersebut antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Ida Rodiah 2017 yang berjudul “Konsep Kebahagiaan Menurut Hamka.” Esensi penelitian tersebut adalah kebahagiaan bisa diperoleh melalui empat hal, yaitu iman dengan sebenar-benarnya, agama, keinginan yang bersih, dan mempunyai keyakinan Ida Rodiah, 2017. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Jarman Arroisi 2019 yang berjudul “Bahagia dalam Perspektif al-Ghazali” yang diterbitkan dalam Kalimah Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam Universitas Darussalam Gontor. Jarman Arroisi 2019 menjelaskan, kebahagiaan merupakan suatu perasaan yang timbul dalam jiwa seseorang melalui perjuangan bersunguh-sungguh. Jalan untuk menempuhnya ialah makrifat an-nafs dan puncaknya ialah makrifat Allah. Kebahagiaan ini akan dirasakan setelah mencapai kesempurnaan jiwa rasionalnya. Jiwa rasional tersebut akan seimbang dengan cara menjaga amalan-amalan baik ketika di dunia. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan jiwa natural yang diperoleh melalui riyadhoh dan mujahadah dan bukan terletak pada materi Jarman Arroisi, 2019. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Endrika Widdia Putri 2018 dengan judul “Konsep Kebahagiaan Menurut al-Farabi” yang dimuat dalam Jurnal Tsaqafiyyat UIN Sunan Kalijaga. Penelitian ini menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan kebaikan untuk kebaikan itu sendiri dan merupakan tujuan akhir dari segala aktivitas di muka bumi. Orang yang hendak mencapai kebahagiaan, terlebih dahulu harus memperbaiki akhlaknya. Semakin baik akhlak seseorang, maka jalan kebahagiaan akan semakin dekat Putri, 2018. Kebahagiaan bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sudah ada sejak zaman dahulu, dan telah mengalami berbagai macam perubahan konsep Putri, 2018. Salah satu tokoh yang membahas kebahagiaan ialah Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Dalam pandangannya, kebahagiaan selalu erat kaitannya dengan suasana dan kondisi hati manusia. Semakin baik manusia dalam mengelola hatinya, maka kebahagiaan pun menjadi semakin tinggi. Artinya kebahagiaan sejatiya terletak di dalam diri manusia itu sendiri. Syeikh Ibnu Atha’illah mengaitkan kebahagiaan dengan kehidupan, kehidupan ini diibaratkan sebagai tempatnya berbagai macam penderitaan. Sehingga manusia tidak perlu berasumsi bahwa dunia adalah tempat berbagai macam kesenangan, karena hal tersebut dapat memutus antara hubungan hamba dengan Allah SWT. Orang yang bahagia adalah Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 183 orang yang menjadikan dunia sebagai ladang dan bekal untuk kehidupan akhirat Ibnu Athaillah as-Sakandari, 2013. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Buya Hamka, bahwasannya kebahagiaan terletak pada diri manusia itu sendiri, akan tetapi tidak sedikit manusia yang meganggap kebahagiaan terletak pada kekayaan, harta, jabatan, dan kehidupan yang mewah. Alhasil, kebahagiaan sulit untuk didapatkan Arrasyid, 2020. Sudah menjadi fitrah manusia akan terpenuhinya segala kebutuhan fisik dan materi. Namun, kebahagiaan tidak hanya terbatas dalam terpenuhinya segala kebutuhan fisik melainkan ada kebahagiaan yang paling penting yaitu kebahagiaan rohani, kepuasan dan ketenteraman hati. Haidar Bagir dalam salah satu karyanya mengatakan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia perlu menekan kebutuhan dan mengurangi keinginan yang belum tentu tercapai Bagir, 2015. Dengan itu, terpenuhinya kebutuhan akan menjadi semakin berkurang, demikian juga dengan ketidakbahagiaan. Setiap tokoh mempunyai cara tersendiri dalam mendefinisikan kebahagiaan tergantung dari sudut pandang mana dan kondisi apa mereka menilai. Syeikh Ibnu Atha’illah melalui untaian hikmah di dalam kitab Al-Hikam, sudah tidak diragukan lagi akan kepiawaiannya dalam membahas kebahagiaan secara universal. Sehingga peneliti berusaha membahas konsep kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan cara memperoleh kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, serta relevansinya dengan kehidupan manusia di era modern. Diharapkan penelitian ini bisa memberikan sumbangsih pada khazanah ilmu pengetahuan, khususnya pada jurusan Tasawuf dan Psikoterapi. Serta menambah wawasan pada mahasiswa dalam memandang kehidupan dan mendefinisikan kebahagiaan. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme dan digunakan untuk meneliti obyek alamiah. Hasil penelitiannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik, akan tetapi melalui pengumpulan data, analisis, dan interpretasi Albi Anggito, 2018. Berbeda halnya dengan penelitian kuantitatif yang dalam pengambilan datanya selalu menggunakan bilangan angka. Hal ini berlandaskan pada filsafat positivisme yang memandang gejala, fenomena, serta realitas sebagai sesuatu yang konkret, terukur, teramati, dan dapat diklasifikasikan. Sehingga data yang dikumpulkan menggunakan instrumen penelitian, dan analisis data yang bersifat statistik Sugiyono, 2017. Sumber utama dalam penelitian ini adalah kitab al-Hikam dan beberapa karya dari Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Selain itu, berbagai data dan informasi seperti karya Imam Ghazali, Muhammad Said Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 184 Ramadhan al-Buthi, Hamka, dan yang lainnya dijadikan sebagai sumber data sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka library research. Analisis yang digunakan merupakan teknik analisis konten content analysis. Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan konsep atau kata yang ada di dalam teks atau rangkaian teks Gusti Yasser Arafat, 2018. Selain itu, teknik ini dapat digunakan untuk menganalisis informasi baik tertulis, audio, dan visual. Seperti artikel, surat kabar, radio dan televisi Afifudin, 2012. Pertama-tama peneliti mengumpulkan berbagai data dan informasi dari sumber literatur, baik primer maupun sekunder Darmalaksana, 2020. Setelah tersaji, peneliti mengambil data-data yang sesuai untuk mempermudah penarikan sebuah kesimpulan. Hasil dan Pembahasan 1. Biografi Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari lahir di Iskandariyah, Mesir. Sebuah kota yang berada di pesisir perserikatan republik Arab. Beliau lahir pada pertengahan abad ke-7 H./ ke-13 M. dan wafat pada tahun 709 H./ 1309 M. Syeikh Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Husein Atha’illah as-Sakandari adalah nama lengkapnya. Abd al-Karim merupakan nama kakeknya yang dikenal sebagai ahli fikih pada masanya, sedangkan ayahnya bernama Muhammad Ibn Abd al-Karim merupakan pengikut setia dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili. Sejak kecil, Syeikh Ibnu Atha’illah sudah mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan terutama pemikiran-pemikiran dari Imam Malik. Perjalanan keilmuannya diawali dengan mempelajari ilmu al-Quran, tafsir, fikih, ilmu tata bahasa, serta teologi Asyariyah kepada para Syeikh di Mesir Danner, 1999. Kecerdasan yang dimiliki oleh Syeikh Ibnu Atha’illah mampu menyita perhatian para ulama pada masa itu dan membandingkannya dengan sang kakek yang sangat terkenal dalam bidang fikih. Pada awalnya, Syeikh Ibnu Atha’illah tidak menempuh jalan sufi seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Namun, gencarnya gerakan sufisme pada saat itu, sangat berpengaruh terhadap spiritual beliau di masa mendatang. Sebagai ahli fikih yang terkenal, Syeikh Ibnu Atha’illah mempunyai pandangan yang jauh berbeda dengan para sufi, bahkan beliau berperan sebagai tokoh antagonis. Syeikh Ibnu Atha’illah sering beradu argumen dengan murid dari Syeikh Abul Abbas al-Mursy tokoh tarekat Syadziliyyah pada masa itu, bahkan beliau pernah mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dicari selain hukum syariat Danner, 1999. Pada awal tahun 674 H./ 1276 M., Syeikh Ibnu Atha’illah pergi menemui salah seorang guru untuk mendiskusikan berbagai aspek keislaman yang berbeda. Di sanalah Syeikh Ibnu Atha’illah bertemu Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 185 dengan Syeikh Abul Abbas al-Mursy. Tahun tersebut menjadi tahun yang sangat berpengaruh dan menjadi awal perubahan kehidupan beliau. Meskipun Syeikh Ibnu Atha’illah telah menempuh jalan tarekat, akan tetapi tidak membuatnya berhenti mempelajari ilmu hukum fikih. Syeikh Abul Abbas al-Mursy memprediksi bahwa Syeikh Ibnu Atha’illah akan menjadi ulama besar yang faqih dan zahid. Perkataan Syeikh Abul Abbas al-Mursy menjadi kenyataan, hal ini dapat dilihat dari gelar yang disandangnya. Syeikh Ibnu Atha’illah adalah seorang imam yang diberi gelar “mahkota agama” tajuddin, karena beliau mampu menghimpun serta memadukan kaidah-kaidah ilmu syariah dengan prinsip penyucian hati Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, 2020. Transformasi Syeikh Ibnu Atha’illah dari seorang fakih menjadi seorang guru sufi tidak mudah untuk diketahui. Nama beliau masih terkenal sebagai seorang ulama syariah yang sangat terkemuka. Akan tetapi, beliau mampu mengejawantahkan syariah dengan hakikat. Esensi pengejawantahan tersebut adalah sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai belenggu hawa nafsu dan keduniaan serta mampu mengangkat derajat manusia di hadapan Allah SWT Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, 2020. Akhir masa hidupnya beliau curahkan sebagai pengajar hukum-hukum madzhab Maliki di Universitas al-Azhar dan madrasah-madrasah yang berada di sekitar al-Manshuriyah. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syeikh Syihabuddin Ibn Maylaq w. 749 H./ 1349 M., dan Syeikh Taqiyyuddin as-Subki w. 756 H./ 1355 M.. Syeikh Ibnu Atha’illah juga berperan sebagai Syeikh tarekat Syadziliyah yang cukup produktif dalam menuangkan buah pemikirannya dalam bentuk tulisan. Sehingga beliau menjadi guru pertama tarekat Syadziliyah yang menggunakan pena dan kertas sebagai media dalam menyebarkan dan mengklarifikasikan ajaran-ajaran tarekat Syadziliyah. Salah satu karyanya yang sangat terkenal ialah al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan magnum opus yang di dalamnya berisikan aforisme-aforisme yang menyejukan dan menggugah hati serta menjadi pijakan dasar doktrin sufi. Kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis sewaktu Syeikh Abul Abbas al-Mursy masih hidup. Selain itu beliau juga menulis kitab Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, at-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, Lathaif fi Manaqib Abi al-Abbas al-Mursy wa Syeikh Abi Hasan, Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus dan beberapa tulisan lainnya yang ditulis dalam bentuk risalah yakni uraian singkat dan padat Mudin, 2016. Tulisan-tulisan di atas dianggap sebagai karya yang perenial pada dunia Islam, khususnya di kalangan umat mendatang. Meskipun Syeikh Ibnu Atha’illah telah wafat pada tahun 709 H./ 1309 M., akan tetapi corak dan otoritas karyanya selalu menarik perhatian para salik di seluruh belahan dunia Danner, 1999. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 186 2. Kebahagiaan Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Kebahagiaan dilihat dari berbagai sudut pandang, masih belum mencapai titik final. Para filosof seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan Epicurus memandang bahwa kebahagiaan adalah puncak pencapaian tertinggi. Dimana, kebahagiaan yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada penilaian subjektif semata, seperti kegembiraan dan kesenangan, akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia meliputi sosial, moral, emosional dan spiritual Bertens, 2015. Kebahagiaan dalam bahasa Inggris disebut dengan happy, sedangkan dalam al-Quran kebahagiaan disebut dengan istilah sa’adah, falah, najat dan najah Hamim, 2016. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI bahagia diartikan dengan suatu keadaan, perasaan senang dan tenteram Dendi Sugono, 2008. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memandang bahwa kebahagiaan adalah kondisi hati manusia yang selalu taat dan patuh dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2003. Kebahagiaan yang dimaksud merujuk pada kebahagiaan dua dimensi, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Karakteristik orang yang bahagia, selalu tercermin dari kondisi dan situasi hati. Kondisi hati sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan, karena hati merupakan sumber dari kebahagiaan dan penderitaan Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Konsep kebahagiaan tidak hanya terfokus pada kebahagiaan dunia, akan tetapi dibahas pula konsep kebahagiaan di akhirat, sama halnya dengan yang disampaikan oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Dunia merupakan tempat yang amat berpengaruh dalam tercapainya kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari menyampaikan, ada dua tipe manusia dalam menyikapi dunia. Kedua tipe ini sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan yang hendak dicapai manusia. Pertama, manusia yang mengatur dunia untuk urusan dunia. Kedua, manusia yang mengatur urusan dunia untuk keperluan akhirat. Tipe manusia pertama, menggambarkan ketamakan manusia, yang senantiasa mengumpulkan harta demi kesenangan semata, tanpa memandang aspek kehalalan dan keharamannya. Tipe ini menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari tidak akan mengantarkan pada kebahagiaan, sebaliknya, sikap tersebut hanya akan mengantarkan manusia pada ketamakan dan kehancuran, karena tujuan utama yang ingin diperolehnya ialah memperkaya diri. Jika hartanya semakin bertambah, maka ia akan semakin terlena dan lupa kepada Allah SWT, sebaliknya jika hartanya hilang dan berkurang menyebabkan kesedihan yang luar biasa, seperti halnya realita yang ditemukan dalam kehidupan ini. Ikhtiar dalam mencari urusan dunia merupakan esensi dari tipe manusia yang kedua. Orang yang mengurus urusan dunia untuk keperluan akhirat dan ibadahnya, tidak dilandasi tujuan untuk menimbun harta dan menguasai dunia. Hal tersebut Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 187 dilakukannya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keridaannya. Manusia tipe kedua ini sangat memahami, bahwa dunia adalah ujian dan fitnah besar. Ia jadikan dunia sebagai media untuk memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat Ibnu Atha’illah As-Sakandari, 2013. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah dituangkan dalam berbagai tulisan yang bisa kita temukan dalam karya-karyanya. Kitab al-Hikam merupakan salah satu kitab yang ditulis oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Di dalamnya terdapat banyak aforisme yang menggugah dan menyejukan hati. Konsep kebahagiaan pun disajikan lewat aforismenya di dalam kitab al-Hikam, dan beberapa karya yang lainnya. Konsep kebahagiaan yang pertama, dijelaskan dalam hikmah ke-24, yang berbunyi  Artinya Janganlah engkau merasa heran dengan banyaknya kekeruhan yang dijumpai selama masih hidup di dunia. Sebab dunia ini adalah tempat untuk menampakan berbagai hal yang layak disifati dengan kekeruhan, dan hal-hal yang seharusnya digambarkan demikian Ashim Ibrahim al-Kayyali, 2018, p. 47. Hikmah di atas berkaitan dengan karakteristik kehidupan. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia terbagi ke dalam dua aspek penting yaitu aspek duniawi dan aspek ukhrowi. Kedua aspek ini sangat dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Keseimbangan antara keduanya menjadi tolak ukur untuk mencapai kehidupan yang harmonis serta tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani. Pada kenyataannya, masyarakat Islam pada khususnya masih belum mampu merealisasikan kedua aspek tersebut karena ketidakpahaman akan hakikat kehidupan itu sendiri M. Ma’ruf, 2019. Hikmah Syeikh Ibnu Atha’illah ini, menjelaskan bahwa kelaziman dari karakteristik dunia adalah tempat berbagai kesulitan dan penderitaan. Hikmah ini senada dengan apa yang dikakatakan oleh Ja’far ash-Shadiq bahwa barang siapa yang mencari sesuatu yang belum pernah diciptakannya, sama saja dengan menyiksa diri sendiri karena tidak akan pernah mendapatkannya. Lalu, ditanyakan apa yang tidak akan pernah didapatkannya itu? Ja’far ash-Shadiq menjawab, “kenyamanan di dunia” Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Hikmah ini menegaskan sebuah kenyataan bahwa kenikmatan dunia seringkali bercampur dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang bersifat intimidasi. Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah, Allah menakdirkan dunia dengan sifat dan kondisi seperti itu, setidaknya terdapat dua hikmah yang terkandung di dalamnya. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 188 Pertama, Allah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan medan yang penuh dengan beban, adalah untuk menginformasikan kembali tujuan diciptakannya manusia. Urgensi dari penciptaan manusia dalam segala aspek kehidupan ini adalah untuk mempraktikan bukti penghambaannya kepada Allah SWT. Baik dilakukan dengan cara patuh terhadap segala perintahnya, hukum-hukumya, maupun dengan cara tunduk terhadap segala kekuasannya. Ketika manusia berasumsi bahwa kehidupan ini hanya berisi dengan kenikmatan dan kebahagiaan, terhindar dari kekeruhan dan beban penderitaan, maka dengan cara apa manusia akan merespon penghambaannya kepada Allah SWT. Padahal, bentuk dan cara penghambaan manusia kepada Allah selalu bersifat pilihan Al-Buthi, 2020. Manusia adalah makhluk yang mempunyai beban kewajiban. Praktik penghambaan manusia adalah buah dari pembebanan taklif tersebut. Tidak dikatakan pembebanan jika dalam prosesnya tidak ada kesulitan dan beban yang ditanggungnya. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya al-Hikam al-Atha’iyyah mengatakan, jika perjalanan kehidupan hanya sekadar kehidupan yang datar dan monoton, dengan dibaluti oleh kenikmatan dan kebahagiaan semata, itu merupakan sebuah kontradiksi Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Karena letak pembebanan seorang hamba menjadi tidak tampak. Buah dari pembebanan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah adalah kesabaran dan rasa bersyukur. Dengan kedua beban inilah manusia mempraktikan penghambaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT, yang berbunyi  Artinya Kamu benar-benar akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan kamu benar-benar akan mendengar banyak hal yang menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, sesungguhnya yang demikian itu adalah urusan yang diutamakan QS. Ali-Imraan 186. Kedua, kehidupan dunia hanya kehidupan sementara dan dibatasi dengan ujian. Alur kehidupan tidak selamanya bersifat nikmat dan senang. Tetapi selalu diiringi dengan berbagai kesulitan dan kekeruhan. Ujian yang diterima manusia sewaktu di dunia adalah untuk memperoleh reward atau balasan menghadapi kehidupan akhirat. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Abd Al-Qadir Abu al-Faris, bahwa kehidupan di dunia adalah medan segala bentuk ujian dan akhirat adalah tempat memperoleh Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 189 balasan Lilik Ummi Kultsum, 2018. Kehidupan dunia hanya membuat manusia terlena dan lupa akan balasan terbesar Allah SWT, berupa kebahagiaan di akhirat. Dalam pandangan Syeikh Ibnu Atha’illah, kehidupan dan manusia mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut dibangun atas dasar kasih sayang dan kelemahlembutan. Kehidupan dunia adalah titipan dari Allah SWT, artinya manusia harus menyayangi kehidupan ini atas dasar kasih sayang-Nya. Tidak menjadikan kehidupan dunia terus melekat pada hatinya, dan tidak mempunyai rasa penyesalan ketika meninggalkannya Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Selama menjalani kehidupan, manusia tidak akan terlepas dari urusan-urusan dunia. Syeikh Ibnu Atha’illah menyebutnya dengan al-aghyar Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Bahkan, manusia dituntut untuk senantiasa berkecimpung di dalamnya. Menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang untuk meraih dan menggapi rida-Nya, merupakan kewajiban manusia. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali, kebahagiaan dunia adalah jalan untuk bisa merasakan kebahagiaan di akhirat, karenanya menjadi kewajiban manusia untuk mengenali dunia, ilmu-ilmu dunia, dan karakteristik yang ada di dalamnya. Perilaku menjauhi dan tidak mengenal dunia sama saja dengan menjauhkan manusia dari kebahagiaan hidup di dunia Rusfian Effendi, 2017. Syeikh Ibnu Atha’illah tidak menyarankan manusia untuk lari meninggalkan kehidupan dunia. Hanya saja, kehidupan manusia jangan sampai menjadikan manusia tunduk pada keinginan-keinginan hawa nafsu yang sementara. Para ulama menyebutnya dengan istilah al-Khalwah fi al-Jilah. Maksud dari istilah tersebut, menurut Syeikh Ibnu Atha’illah bukan khalwat dalam arti menyendiri dan meninggalkan keramaian dunia dan masyarakat sekitar. Tetapi, khalwat yang disyariatkan dan dicintai-Nya ialah terjun langsung dalam kehidupan dunia tetapi tidak hanyut dan tidak terlena. Artinya manusia harus menjadi pemeran utama dalam mengatur dan mengendalikan kehidupan dunia, bukan manusia yang dikendalikan oleh kehidupan dunia. Lari dari berbagai urusan dan kekeruhan dunia, tidak termasuk solusi. Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah perilaku tersebut mencerminkan orang yang tidak tahu akan hakikat kehidupan dunia. Kekeruhan dan segala urusan bisa memutuskan hubungan baik antara sesama manusia, bahkan memutuskan hubungan manusia dengan Allah SWT, bahkan diri manusia sendiri pun termasuk urusan dan kekeruhan dunia. Kekeruhan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah tidak hanya sebatas materi semata, termasuk kekeruhan yang bersifat immateri. Ketidaktahuan akan hakikat ini, mampu mendorong manusia untuk lari dari kenyataan, bahkan manusia mengatakan “aku akan lari dan membebaskan diri dari kekeruhan dan urusan ini, lalu akan menyendiri Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 190 dan menyepi ditengah-tengah sunyi” Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Kesadaran dan pengetahuan manusia begitu dibutuhkan dalam menghadapi kenyataan hidup. Dengan demikian, manusia akan mampu menerima berbagai kondisi, baik senang maupun susah. Ia akan menjalaninya dengan penuh keihklasan dan kedamaian. Orang yang memahami realitas kehidupan di dunia ini, akan terus merasakan ketenangan baik ketika mendapatkan kenikmatatan maupun ketika dilanda kekeruhan termasuk kesengsaraan dan kesedihan. Karena itulah hakikat dan karakter dari kehidupan dunia. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang kedua, terdapat dalam hikmah yang ke-228, yang berbunyi  Artinya Tatkala berkurang apa yang membuatmu senang, maka berkurang pula apa yang membuatmu bersedih Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018, p. 339. Hikmah di atas secara fundamental mengajarkan bahwa kebahagiaan sangatlah mudah untuk dicapai. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan dua kata yang saling kontradiksi. Namun menurut hikmah di atas, kedua kata tersebut mempunyai pengaruh dan bobot yang sama. Ketika kebahagiaan disimpan dalam bentuk sesuatu dan terlampau besar, maka potensi kesedihan pun akan semakin besar. Sebaliknya, jika kebahagiaan yang disimpan terhadap sesuatu itu sedikit, maka potensi kesedihan pun juga sedikit. Hubungan tersebut mempunyai sebab akibat yang setimpal, meskipun keduanya saling berlawanan Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Upaya mengurangi harta dan sebab yang lainnya, merupakan langkah dalam mengurangi kesedihan. Sikap seperti ini merupakan cerminan orang yang telah sempurna akalnya dan pandangannya. Orang seperti ini tidak hanya mengambil maslahat berupa kebahagiaan dari sesuatu yang keberadaannya hanya sementara, sehingga terhindarnya dari kerusakan akibat kesedihan adalah kebahagiaan. Seperti perkataan orang yang bijak bahwa “menghindari kerusakan lebih utama daripada mencari kemaslahatan,” termasuk mengurangi kesenangan demi berkurangnya kesedihan. Oleh karena itu, Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberikan jalan agar manusia senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Sikap merasa tidak cukup atas segala kebutuhan hidup, akan membuat manusia sibuk dan lalai terhadap kewajibannya, sehingga Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 191 tindakan seperti itu akan menjadikannya berlebihan thugyan terutama dalam masalah harta benda. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi “sesuatu yang sedikit dan cukup lebih baik dan utama daripada sesuatu yang banyak tetapi melalaikan” HR. Abu Ya’la dan adh-Dhiya. Di dalam hikmah sebelumnya, Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari berkata  Artinya Di antara bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan Allah kepadamu ialah memberi kecukupan terhadap segala kebutuhan dan menghindarkan dari sesuatu yang menyebabkan kecelakaan atasmu Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018, p. 338. Mengetahui kesempurnaan nikmat yang telah diberikan-Nya, akan mendorong manusia untuk selalu merasa cukup atas apa yang telah diberikan-Nya. Dengan kata lain, manusia akan selalu bahagia atas nikmat dan kecukupan yang diperolehnya. Keyakinan terhadap karunia yang telah Allah tentukan dan pasti diberikan, akan menjadikan manusia sibuk dengan perintah Allah dari pada mengurus apa yang sudah dijamin-Nya. Dengan demikian, Allah akan mengangkat derajatnya, mencukupkan segala kebutuhannya, dan menyempurnakan cahaya ilahi-Nya makrifat Ibnu Atha’illah al-Sakandari, 2013. Dengan bermakrifat kepada Allah SWT, manusia akan sampai pada derajat kebahagiaan yang hakiki. 3. Korelasi Kebahagiaan dengan Akhlak Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah, akhlak bisa mengantarkan manusia menjangkau dirinya sendiri, karenanya manusia harus menyadari bahwa ia mempunyai tujuan hidup. Akhlak yang dimaksud tidak hanya terbatas pada aspek lahiriyah yang sifatnya horizontal, akan tetapi juga menyangkut akhlak bathiniyyah yang bersifat vertikal. Akhlak merupakan sifat terdidik yang dimiliki oleh manusia serta mampu mengantarkannya menjadi manusia yang paripurna. Selain itu, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pendidikan akhlak yang mulia akan mengantarkan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat Alimudin & Darifah, 2018. Manusia merupakan makhluk yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Manusia dibekali akal sebagai sarana untuk mengetahui dan hati sebagai tempat berkumpulnya emosi dan perasaan. Faktor inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk ciptaan yang lainnya. Manusia akan mencapai derajat kemanusiannya ketika kedua potensi ini telah teraktualisasikan, dengan demikian manusia akan merasakan kebahagiaan. Akal dan hati seyogianya harus bersinergi dalam menghasilkan moral atau etika. Moral atau etika seperti inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan. Demikianlah korelasi antara Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 192 moral dengan kebahagiaan yang dikonsepsikan oleh Aristoteles Hasib, 2019. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hati mempunyai perilaku yang beragam. Sebagian perilaku disebut dengan budi pekerti buruk akhlaq as-su’, dan sebagian lagi disebut dengan budi pekerti baik akhlaq al-hasanah. Budi pekerti yang baik mengantarkan manusia mencapai derajat kebahagiaan yang hakiki. Sedangkan, budi pekerti yang buruk menyebabkan manusia mengalami kehancuran dan penderitaan Abu Hamid al-Ghazali, 2020. Perbedaan antara orang yang bahagia dengan orang yang menderita dijelaskan dalam salah satu firman-Nya yang berbunyi Artinya Tidaklah sama antara penghuni neraka dengan penghuni surga, penghuni-penghuni surgalah yang memperoleh kemenangan” QS. Al-Hasyr 20. Berdasarkan ayat di atas, Syeikh Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat jauh antara orang yang memperoleh kebahagiaan dengan orang yang memperoleh penderitaan. Orang bahagia dalam pandangan Syeikh Ibnu Atha’illah adalah orang yang hatinya bersinar. Pengejawantahan hati yang selalu bersinar akan tampak ketika manusia melihat suatu kemaksiatan. Ia akan menolak, mengingkari, serta berusaha untuk mengajak pada kebaikan dan memohonkan ampunan. Sebaliknya, sikap orang yang menderita senantiasa menyudutkan dan mencela para pelaku maksiat. Dalam hatinya telah tertanam rasa benci, sehingga membuatnya melakukan hal yang tidak terpuji, seperti mencela, memfitnah bahkan melaknatnya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2003. Selain itu, Syeikh Ibnu Atha’illah juga menjelaskan bahwa orang bahagia senantiasa menjaga kesucian diri, tidak mendzalimi orang lain, serta menjaga rahasia, aib, dan memelihara harga diri orang lain. Dengan demikian orang tersebut akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Orang yang mampu menahan diri untuk tidak mendzalimi orang lain dari pagi hingga menjelang petang, menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari adalah orang yang mendapatkan kebahagiaan. Jika mampu menahan kedzaliman terhadap diri sendiri dan terhadap perintah-perintah Allah, maka orang tersebut telah mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Puncak dari kesempurnaan kebahagiaan itu ditandai dengan berjumpa dengan Allah dalam keadaan iman. Orang yang mendzalimi Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 193 orang lain sama halnya dengan membuat kesedihan untuk akhirat Ibnu Athaillah as-Sakandari, 2003. 4. Urgensi Konsep Kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah di Era Modern Tolak ukur kebahagiaan di era modern seperti sekarang ini, bisa dilihat dari seberapa banyak penguasaan terhadap materi. Hal ini bisa dilihat dari gaya hidup yang cenderung hedonis dan materialistik Maryam Ismail, 2019. Tujuan utama pola hidup yang seperti ini tiada lain adalah untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan semata. Pada umumnya, kebahagiaan dilihat dari seberapa kaya, sukses, dan bisa menikmati berbagai kesenangan. Tidak heran, banyak manusia yang terpesona untuk memiliki salah satu bahkan ketiganya sekaligus. Harta kekayaan dan kesenangan berpotensi menurunkan kebahagiaan serta menjadi sumber penderitaan dan kejenuhan Jalaluddin Rakhmat, 2009. Kehidupan manusia modern yang menyuguhkan kehidupan materi dan individualistik, tidak memberikan rasa nyaman dan bahagia. Sebaliknya, angka kriminalitas yang semakin tinggi sebagai cerminan dari krisis moral yang terjadi Dewi, 2017. Melihat realita seperti di atas, konsep kebahagiaan yang disuguhkan oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari begitu penting untuk diterapkan saat ini. Orientasi kebahagiaan yang diletakkan dalam bentuk kesenangan seperti uang, jabatan, serta kebutuhan ekonomi yang tercukupi, pada kenyataannya belum mampu memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Salah satu contoh seperti yang terjadi di negara-negara Barat, kebahagiaan semakin menurun seiring dengan pertumbuhan perekonomian yang semakin cepat Jalaluddin Rakhmat, 2009. Pergeseran paradigma mengenai kebahagiaan, lagi-lagi tidak terlepas dari asumsi yang mengatakan bahwa uang dan pendapatan merupakan sumber kebahagiaan. Tidak heran, hal ini masih menjadi perdebatan di semua kalangan, termasuk ekonom dan psikolog. Hal menarik dari perdebatan ini ialah timbulnya sebuah istilah yang dinamakan dengan “paradoks Easterlin” atau konsep titik jenuh yang digagas oleh Easterlin 1974. Pada awalnya, pendapatan seseorang berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, dengan logika semakin besar pendapatan semakin terpenuhinya segala kebutuhan. Akan tetapi, pada akhirnya relasi tersebut akan sampai pada sebuah titik yang dinamakan dengan titik jenuh. Lonjakan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika, Eropa, Jepang, selama beberapa tahun terakhir tidak diiringi dengan peningkatan kebahagiaan masyarakat di negara tersebut Muskinul Fuad, 2018. Di era modern, kesuksesan yang tidak sejalan dengan kebahagiaan tidak lagi menjadi sebuah pengecualian anomali, akan tetapi sudah menjadi sesuatu yang normal dan sering terjadi. Hilangnya energi Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 194 kehidupan serta timbulnya rasa sedih di tengah kehidupan yang tampak bahagia, sering disebut dengan istilah dysthymia Jalaluddin Rakhmat, 2009. Gejala lain yang mencerminkan kehidupan di era modern ialah gangguan kecemasan, para psikolog menyebutnya dengan istilah anxiety disorder. Fenomena seperti ini, menurut Bastaman merupakan representasi dari kehidupan manusia di zaman modern, sehingga abad ini disebut dengan abad kecemasan the age of anxiety. Akibatnya, terjadilah krisis multi dimensi yang meliputi perekonomian, politik, sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat dunia. Tidak heran banyak manusia yang mengalami penderitaan, karena kegagalannya dalam menggapai kehidupan dan kebahagiaan Muskinul Fuad, 2018. Melihat realita seperti ini, Syeikh Ibnu Atha’illah melalui konsep kebahagiaannya yang sederhana, mengajarkan kepada kita supaya tidak menaruh kebahagiaan pada sesuatu yang sifatnya sementara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebahagiaan bukanlah kesenangan dan kenikmatan semata, tidak sedikit orang yang dipenuhi dengan berbagai kenikmatan tetapi dia tidak merasakan kebahagiaan. Dengan mengenal sifat dunia dan karakteristiknya, seyogianya manusia tidak terlalu berambisi dalam segala hal. Esensi kebahagiaan itu sendiri terletak dalam hati manusia, karena itu Syeikh Ibnu Atha’illah mengajarkan kepada kita supaya menjaga hati agar tidak terlena terhadap sesuatu yang memikat tetapi pada akhirnya menjemukan Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Memperbaiki akhlak begitu penting untuk dilakukan, sebagai upaya timbulnya rasa nyaman, dengan demikian kebahagiaan akan mudah didapatkan Putri, 2018. Kesimpulan Syeikh Ibnu Atha’illah merupakan seorang sufi yang sangat faqih. Beliau mampu memadukan ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu hakikat. Kata Syeikh disematkan pada nama Ibnu Atha’illah as-Sakandari sebagai penghormatan akan kebesaran nama beliau. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari melalui hikmah-hikmah yang terkandung di dalam kitab al-Hikam, dan kitab-kitab yang lainnya, menginformasikan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia perlu mengolah hati dan memperbaiki akhlak, baik akhlak terhadap sesama manusia maupun akhlak terhadap Allah SWT. Selain itu, Syeikh Ibnu Atha’illah mengharuskan manusia agar mengetahui kesempurnaan nikmat yang telah diberikan Allah SWT, sebagai upaya agar manusia tetap bersyukur dan bersabar atas apa yang dimilikinya. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah sangat relevan dengan kehidupan manusia di era modern ini, konsep yang sederhana namun mampu memberikan rasa nyaman, tenteram, dan mengantarkan kepada kebahagiaan yang sejati. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, terkhusus bagi penulis umumnya bagi khalayak Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 195 umum yang masih bingung dan terus mencari makna kebahagiaan. Juga diharapkan menjadi referensi dan pembanding dalam menjalani kehidupan dan tercapainya tujuan hidup yang bermakna. Dalam menjalani rangkaian penelitian, peneliti dihadapkan dengan beberapa keterbatasan, antara lain kajian ini hanya menggunakan kitab Syarh al-Hikam sebagai rujukan utama dikarenakan peneliti tidak memperoleh kitab asli yaitu Matan al-Hikam, serta keterbatasan referensi dari kitab-kitab karangan Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang sudah jarang beredar sehingga peneliti kesulitan untuk menghimpun karya-karya beliau. Keterbatasan ini peneliti paparkan sebagai ruang penyempurnaan bagi peneliti selanjutnya agar studi yang dilakukan bisa lebih baik. Semoga penulis dan pembaca mendapat rida dan keberkahan dari Allah SWT. Daftar Pustaka Abu Hamid al-Ghazali. 2020. Kimiya al-Sa’adah Mustofa Bisri ed.; Cetakan 1. Jakarta PT Qaf Media Kreativa. Afifudin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi Anggito, J. S. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif E. D. Lestari ed.; Cetakan 1. Sukabumi CV Jejak. Arrasyid, A. 2020. Konsep Kebahagiaan dalam Tasawuf Modern Hamka. Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, 192, 205–220. Ashim Ibrahim al-Kayyali. 2018. Al-Lathaif al-Ilahiyyah fi Syarh Mukhtarat min al-Hikam al-Atha’iyyah M. Tatam Wijaya ed.; Cetakan 1. Jakarta PT Qaf Media Kreativa. Bagir, H. 2015. Risalah Cinta dan Kebahagiaan II. Bandung Mizan. Bertens, K. 2015. Etika Cetakan 3. Bandung Kanisius. Danner, V. 1999. Mistisisme Ibnu Atha’illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1. Risalah Gusti. Darmalaksana, W. 2020. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 1–6. Dendi Sugono, D. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Dewi, E. 2017. Konstruksi Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan Spritual. Substantia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19, 133–148. Gusti Yasser Arafat. 2018. Membongkar Isi Pesan dan Media dengan Content Analysis. Jurnal Al-Hadharah, 1733, 32–48. Haidar Bagir. 2006. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung Mizan. Hamim, K. 2016. Kebahagiaan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Filsafat. Tasâmuh, 132, 127-150. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 196 Hasib, K. 2019. Manusia dan Kebahagiaan Pandangan Filsafat Yunani dan Respon Syed Muhammad Naquib al-Attas. TASHFIYAH Jurnal Pemikiran Islam, 351, 21–40. Ibnu Atha’illah al-Sakandari. 2013. Bahjat al-Nufus F. F. Bahreisy ed.; Cetakan 1. Jakarta Zaman. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2003. Bahjah Al-Nufus C. R. B. A. Cecep Alba ed.; Cetakan 1. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2013. At-Tanwir Fii Isqaati at-Tadbir Misbah El-Majid ed.; Cetakan 1. Surabaya Pustaka Hikmah Perdana. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2018. Syarh al-Hikam Ibnu ath-Thaillah as-Sakandari Imam Firdaus ed.; Cetakan 3. Bandung Wali Pustaka. Ibnu Athaillah as-Sakandari. 2003. Menjaga Kesucian Kalbu C. R. B. A. Cecep Alba ed.; Cetakan 1. Bandung Remaja Rosdakarya. Ibnu Athaillah as-Sakandari. 2013. At-Tanwir fi Isqaati at-Tadbir M. El-Majid ed.; Cetakan 1. Surabaya Pustaka Hikmah Perdana. Ida Rodiah. 2017. Konsep Kebahagiaan Menurut Hamka. UIN Sunan Gunung Djati. Iman Setiadi Arif. 2018. Psikologi Positif Pendekatan Saintifik Menuju Kebahagiaan Cetakan 2. Bandung PT Gramedia Pustaka Utama. Jalaluddin Rakhmat. 2009. Meraih Kebahagiaan. Simbiosa Rekatama Media. Jarman Arroisi. 2019. Bahagia dalam Perspektif Al-Ghazali. Jurnal Studi Agama-Agama Dan Pemikiran Islam, 1701. Lilik Ummi Kultsum. 2018. Cobaan Hidup dalam Al-Quran Studi Ayat-Ayat Fitnah dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik. Ilmu Ushuluddin, 52, 107–138. Ma’ruf, M. 2019. Konsep Mewujudkan Keseimbangan Hidup Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Al-Makrifat, 42. Maryam Ismail. 2019. Hedonisme dan Pola Hidup Islam. Jurnal Ilmiah Islamic Resources FAI-UMI Makassar, 162, 193–204. Mudin, M. I. 2016. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari. Kalimah Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam, 142, 156–172. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. 2020. Al-Hikam al-Athaiyyah Syarah al-Hikam Ibnu ath-Thaillah as-Sakandari A. U. Abdurrahman Jufri, Hadiri Abdurrazaq ed.; Cetakan 1. Tangerang Pustaka IIMaN. Muskinul Fuad. 2018. Psikologi Kebahagiaan dalam Al-Quran Cetakan 1. Yogyakarta Lontar Mediatama. Putri, E. W. 2018. Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif Al-Farabi. THAQAFIYYAT Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam, 191, 95-111. Rusfian Effendi. 2017. Filsafat Kebahagiaan Plato, Aristoteles, Al-Ghazali, Al-Farabi cetakan 1. Yogyakarta Deeppublish. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 197 Slamet, I. 2018. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam Kitabnya al-Hikam. Studi Pendidikan Islam, 181. Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods. Bandung CV Alfabeta. Tamami. 2011. Psikologi Tasawuf. Bandung Pustaka Setia. ... They will bear them sincerely and amicably. Individuals who understand the reality of life in this world will stay calm in the face of delights or hardships and sorrow Suhada et al., 2021. ...Maryam IsmailHedonisme merupakan sebuah pandangan hidup yang menyatakan kesenangan untuk menikmati segalanya adalah tujuan hidup manusia di dunia ini. Kondisi hedonisme banyak ditemukan bukan hanya pada pelajar, dan anak-anak muda atau mahasiswa, nampaknya sudah menyeluruh dalam berbagai kalangan masyarakat. Awalnya hanya kebanyakan dari orang-orang berduit yang selalu memperhatikan penampilan luar dan menikmati hidup ini dengan sepuasnya, bergaul, makan, jalan-jalan, bersenang-senang, berpoya-poya akhirnya sudah menular kepada yang lain meskipun dalam kondisi hidup kekurangan. Pandangan Hedonisme muncul sebagai jawaban dari pertanyaan Socrates tentang tujuan hidup adalah mencari kenikmatan dan kesenangan, tetapi bukan berarti rakus dan memiliki harta sebanyak-banyaknya. Paham ini perlu diwaspadai, karena bisa merusak gaya hidup seseorang dengan menghalalkan segala cara untuk kenikmatan dan kesenangan saja. Sementara kebahagiaan dalam ajaran Islam bukan hanya mengejar kebahagiaan dan kenikmatan lahir yang sesaat, tetapi kebahagiaan adalah keseimbangan lahir dan batin yang dapat dinikmati dunia dan akhirat setelah berhasil mendapatkan ridha Allah Swt. Di dunia yang lebih penting beramal saleh dengan jalan memperbaiki hubungan dengan Allah Swt dan kepada sesama manusia serta seluruh ArrasyidHappiness is an eternal concept that will always keep being up to date which means the concept of happiness will never be ended for discussion. Starting from ancient times, people today, and people in the future always want the same thing as happiness. The concept of happiness is not something new for both the world of Sufism and philosophy, therefore the concept of happiness experiences the dynamic development of the concept. Hamka is one of the scholars in Indonesia who discusses the concept of happiness, but Hamka has its own characteristics in explaining happiness. According to Hamka, happiness actually exists in every human being, happiness can be achieved from inside, not from outside, happiness that comes from outside of ourself is only as a complement to happiness inside, happiness can be achieved if humans always hone and develop tools which can be used to achieve happiness and these tools are religion, reason, and mind. These three things have a relationship with each other, if humans are able to develop these three things then humans can achieve happiness in their lives. In achieving happiness, these three things can be applied by using several methods namely zuhud, sincere, qana’ah and tawakal. The background of this research will explain the concept of happiness in the modern mysticism of Hamka. This research is a library research, and to make it more functional and useful, this paper will be equipped by a description method, interpretation and analysis of data in detail for each problem raised, therefore it can obtain a comprehensive Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi AnggitoAfifudinAfifudin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi Anggito, J. S. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif E. D. Lestari ed.;Risalah Cinta dan Kebahagiaan IIH BagirBagir, H. 2015. Risalah Cinta dan Kebahagiaan II. Bandung Mizan. Bertens, K. 2015. Etika Cetakan 3. Bandung Ibnu Atha'illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1V DannerDanner, V. 1999. Mistisisme Ibnu Atha'illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1. Risalah Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi LapanganW DarmalaksanaDarmalaksana, W. 2020. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan NasionalD Dendi SugonoDendi Sugono, D. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan SpritualE DewiDewi, E. 2017. Konstruksi Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan Spritual. Substantia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19, 133-148. Isi Pesan dan Media dengan Content AnalysisGusti Yasser Arafat. 2018. Membongkar Isi Pesan dan Media dengan Content Analysis. Jurnal Al-Hadharah, 1733, 32-48.

Harapannyaacara ini dapat menggalang pemikiran bersama tentang resolusi konflik, dan kita mendukung atas hukuman mati terhadap pengedar narkoba,” ujar Ketua Lembaga Kajian Resolusi Konflik Muqoffa Mahyuddin, disela-sela acara. Muqoffa juga menambahkan, umat Islam pasti memaafkan atas kesalahan pengedar narkoba, namun hukum harus tetap berjalan.
Home Tausyiah Jum'at, 04 Desember 2020 - 1738 WIBloading... Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari 1250-1309 M, seorang ulama sufi terkemuka kelahiran Mesir. Foto ilustrasi/Ist A A A Guru adalah orang yang mengajar, mendidik, membimbing, melatih, menasihati. Ia menjadi contoh dan teladan yang wajib dipanuti seorang murid. Perannya sangat mulia hingga Allah menempatkan mereka di tempat terpuji. Baca Juga Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya hakikat guru dan perannya? Dalam perspektif Islam , guru sejati adalah mereka yang mengajarkan dan membimbing kita untuk dekat kepada Allah. Para ulama merupakan sosok guru yang dapat dipanuti. Sebab, ulama adalah orang yang mengetahui ilmu keislaman dan hanya takut kepada Allah. Menghormati ulama adalah kewajiban setiap muslim karena mereka adalah pewaris para Nabi . Baca Juga Ulama Adalah Guru yang Mempersatukan UmatImam Ibnu Atha'illah As-Sakandari 1250-1309 M, seorang ulama sufi terkemuka kelahiran Mesir menyampaikan 10 hakikat guru yang sebenarnya. Berikut kalamnyaليس شيخك من سمعت منهوإنما شيخك من أخذت عنهو ليس شيخك من واجهتك عبارته وإنما شيخك الذى سرت فيك إشارتهوليس شيخك من دعاك الى البابوإنما شيخك الذى رفع بينك وبينه الحجابوليس شيخك من واجهك مقالهوإنما شيخك الذى نهض بك حالهشيخك هو الذى أخرجك من سجن الهوى و دخل بك على المولىشيخك هو الذى مازال يجلو مرآة قلبك حتى تجلت فيها انوار ربكArtinya1. Guru sejati bukanlah orang yang engkau dengar ceramah-ceramah sebatas dari lisannya Tapi dia adalah seorang yang menjadi tempatmu di dalam mengambil hikmah dan Bukanlah guru sejati, seseorang yang hanya membimbingmu sekedar makna dari Tapi orang yang disebut guru sejati bagimu adalah orang yang isyarat-isyaratnya mampu menyusup dalam Dia bukan hanya seorang yang mengajakmu sampai ke Tapi yang disebut guru bagimu itu adalah orang yang bisa menyingkap hijab penutup antara dirimu dan Bukanlah gurumu, orang yang ucapan-ucapannya Tapi yang disebut guru bagimu adalah orang yang aura kearifannya dapat membuat jiwamu bangkit dan Gurumu yang sejati adalah yang membebaskan mu dari penjara hawa nafsu, lalu memasukanmu ke ruangan Tuhan-mu10. Guru sejati bagimu adalah orang yang senantiasa menjernihkan cermin hatimu, sehingga cahaya Tuhanmu dapat bersinar terang di dalam hatimu. Baca Juga Wallahu A'lamrhs imam ibnu athoillah ulama nasihat ulama guru kalam Artikel Terkini More 2 jam yang lalu 3 jam yang lalu 3 jam yang lalu 4 jam yang lalu 4 jam yang lalu 5 jam yang lalu
M Munawwir ahli dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan al-Quran). Dan salah satunya adalah qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Berikut inilah Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Munawwir sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu dari: Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, dari. Syaikh Isma’il, dari.
Hidup sering kali berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Bahkan rencana yang sudah kita perhitungkan dengan matang, juga kerap tidak terwujud sebagaimana yang kita inginkan. Tidak jarang berujung pada kegagalan. Ambyar. Tidak ada lagi harapan yang tersisa untuk bisa mewujudkannya. Begitulah memang, manusia hanya bisa menyusun rencana, ketetapan Allah bisa meruntuhkannya kapan saja. Karena itu, ada sebuah petuah bijak berkata, “Manusia mengatur rencana, keputusan Allah menertawakannya.” Kita juga kerap mencemaskan berbagai hal dalam kehidupan. Seperti rezeki, jodoh, keturunan, ujian, dan berbagai permasalahan yang kita temui sehari-hari. Padahal menurut Syekh Ibnu Athaillah, hasil dari semua itu sama pastinya dengan ajal yang akan mendatangi kita. Jadi, kita tidak perlu mencemaskan segala sesuatu yang sejatinya telah ditetapkan oleh Allah swt. Meski demikian, bukan berarti kita tidak perlu melakukan usaha atau ikhtiar sama sekali dalam setiap langkah yang akan kita jalani. Sebab, jika kita terlalu menganggap bahwa hidup kita selayaknya wayang, yang segala geraknya ditentukan oleh dalang, kita bisa tergolong sebagai kaum Qadariyah. Sebaliknya, jika kita terlalu berpegang pada ikhtiar dan kemampuan kita sebagai manusia yang lemah ini, kita bisa juga tergolong dalam kelompok Jabariyah. Itulah keistimewaan Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari 1260-1309 M dalam kitabnya ini. Beliau secara pas dan proporsional memadukan antara porsi ikhtiar dan tawakal. Kitab ini berbeda dengan al-Hikam, karya legendaris Ibnu Atha’illah yang menjadi rujukan utama ilmu tasawuf, yang berisi aforisme atau kalam-kalam hikmah pendek saja. Di dalam kitab at-Tanwir ini, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari menguraikan kalam hikmahnya dengan narasi jelas yang rinci. Mengungkap kunci-kunci mencapai kehidupan yang tenang al-muthmainnah. Kehidupan yang berjalan tanpa rasa cemas dan kekecewaan. Penjelasannya di sini dipaparkan dengan ringan dan mudah dipahami. Sebab keindahan bahasa dan kedalaman makna yang diungkap oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam, disebutkan dalam kitab Iqadh al-Himam fi syarh al-Hikam bahwa, “Seandainya dalam shalat dibolehkan untuk membaca selain ayat-ayat al-Quran, bait-bait dalam kitab ini sangat layak untuk itu.” Sungguh dahsyat memang. Kabar baiknya, dalam kitab at-Tanwir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, Ibnu Atha’illah tidak berubah. Meski menjelaskan dalam bentuk narasi, beliau tetap menyusun kata demi kata dengan indah dan penuh muatan hikmah. Uraian dalam kitab ini diperkaya dengan banyak petikan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Sesekali diselingi dengan bait syair gubahannya dan ungkapan ulama yang menggugah nurani. Di tangan Ibnu Atha’illah pula, tasawuf yang terkesan sulit dipahami oleh nalar orang biasa dan cenderung menggunakan bahasa langit, menjadi sangat membumi aplikatif, solutif, dan relevan untuk menjawab berbagai problematika hidup manusia modern saat ini. Terutama menjawab berbagai problem kecemasan yang semakin banyak melanda jiwa-jiwa yang kering dari limpahan kasih-Nya. Jika kita renungi dengan saksama, seperti disebutkan dalam kata pengantar buku versi terjemahan ini, salah satu bait dalam kitab al-Hikam berikut dapat dikatakan sebagai ringkasan atau inti sari dari seluruh pembahasan yang diuraikan dalam kitab at-Tanwir ini, أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ Artinya “Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi dunia, apa yang telah Allah atur tidak perlu kau sibuk ikut campur.” Ibnu Atha’illah mendorong kita untuk memasrahkan urusan duniawi yang sudah Allah atur, dan hendaknya kita tidak perlu kita ikut sibuk mengurusinya. Karena dirasa sangat mewakili kandungan dari kitab ini, penerbit Turos Pustaka menjadikannya inspirasi dalam memberi judul terjemah kitab at-Tanwir ini, “Istirahatkan Dirimu dari Kehidupan Duniawi Apa yang Telah Diatur Allah, Tak Perlu Sibuk Kau Ikut Campur”. Ada banyak sekali jawaban yang dijabarkan oleh Ibnu Athaillah yang sangat relevan dengan beragam persoalan yang kita hadapi hari-hari ini. Tentang rezeki misalnya, sebuah persoalan yang setiap manusia hadapi saat ini. Dengan sangat detail Ibnu Atha’illah berusaha menguraikan mulai dari mengapa Allah memberikan manusia ruang untuk mencari rezeki? Mengapa tidak Allah swt. penuhi saja semua kebutuhannya tanpa perlu mencarinya? Dalam bagian lain Ibnu Athaillah menjelaskan bagaimana Allah menjamin rezeki dan segala kebutuhan hamba-Nya. Dijelaskan juga bagaimana cara seorang hamba untuk menyelaraskan antara ikhtiar dan tawakal dalam segala usaha yang dilakukannya. Di bagian pungkasan, beliau memberi kita doa agar rezeki dan segala usaha kita diberi kelancaran oleh Allah swt. Seperti disebutkan tadi, dalam buku ini Imam Ibnu Athaillah secara garis besar membahas komposisi antara ikhtiar dan tawakal secara proporsional. Atau secara umum, sesuai judulnya, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, membahas tentang tadbir Allah. Seorang ulama sekaligus filsuf muslim pertama di Spanyol, Ibnu Bajjah menjelaskan dalam bukunya Tadbir al-Mutawahhid bahwa kata tadbir sering ini digunakan dengan makna yang berbeda-beda. Namun umumnya dimaknai sebagai, “Mengatur tindakan untuk sebuah tujuan yang direncanakan.” Tadbir digunakan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena Allah swt. adalah mudabbir, Yang Maha Mengatur. Sebab demikian, tadbir yang paling hakiki adalah tadbir Allah. Sedangkan penggunaan istilah ini bagi manusia hanya sebagai analogi saja. Di tengah pandemi yang tidak menentu seperti sekarang ini, seringkali perencanaan yang telah kita tentukan tidak dapat direalisasikan, meski segala bentuk ikhtiar telah diupayakan. Hal itu tentu membuat lelah, bahkan tidak jarang berujung kecewa. Kecemasan juga kerap melanda, terutama ketika menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan dunia. Hidup seakan mendadak muram dan berjalan tanpa ada harapan. Buku ini adalah jawaban untuk berbagai problem tersebut, karenanya sangat perlu untuk kita baca dan pelan-pelan amalkan hari ini. Saat ini, setelah segala ikhtiar yang kita lakukan, kita hanya butuh menenangkan jiwa, menepi sesaat dari segala kesibukan dunia, lalu berserah diri pada Allah swt. Dapat disimpulkan bahwa sejatinya manusia tidak sama sekali mempunyai kemampuan untuk mengatur rencana takdirnya. Wilayah manusia hanya sebatas pada ikhtiar dan tawakal. Selebihnya, setelah berusaha dan berikhtiar sekuat tenaga dalam menggapai berbagai urusan dunia, manusia hanya tinggal memasrahkan segalanya kepada Allah swt, Sang Pengatur semesta. Kita tidak perlu sibuk turut serta mengatur hasil akhirnya. Biarkan itu semua menjadi keputusan Allah semata. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi lebih tenang dan bahagia. Wallahu a’lam. Peresensi M Farobi Afandi, editor buku dan alumni Pesantren Ciganjur Identitas Buku Judul Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi Kitab at-Tanwir Penulis Ibnu Athaillah as-Sakandari Penerjemah Zulfahani Hasyim, Lc. Tebal 428 halaman Tahun 2021 Penerbit Turos Pustaka ISBN 978-623-7327-57-8
AlQuran dan hadits sudah jelas menyebut dosa besar yang harus dijauhi oleh bukan hanya pemeluk Islam, tetapi juga non-Muslim. Pasalnya, dosa besar merupakan pelanggaran hukum dan kejahatan yang sejalan dengan common sense, nalar umum.Allah menyediakan sanksi keras bagi para pelaku dosa besar.
Tidak sedikit dari kita kerap berburuk sangka kepada Allah. Kita sering mengira bahwa Allah mengabaikan hamba-Nya hanya karena bencana dan derita yang kita alami. Padahal ujian dan cobaan yang kemudian “memaksa” kita untuk bermunajat kepada-Nya adalah cara Allah memilih hamba-Nya. Hal ini disinggung dengan jelas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut أطلق لسانك بالطلب فأعلم أنه يريد أن يعطيكArtinya, “Ketika Allah SWT menggerakkan lidahmu melalui sebuah doa, ketahuilah bahwa Dia ingin memberikan karunia-Nya kepadamu.”Dari sini kita dapat memahami bahwa orang-orang yang berdoa dan bermunajat merupakan hamba-hamba pilihan Allah. Ketika Allah menjatuhkan pilihan-Nya kepada kita atas sebuah cobaan, pada hakikatnya Dia mengasihi kita yang kemudian memperkenankan kita untuk bermunajat kepada-Nya. Demikian uraian Syekh Ibnu Abbad atas hikmah أنس بن مالك رضى الله عنه قال قال رسول الله إذا أحب الله عبدا صب عليه البلاء صبا وسحه عليه سحا فإذا دعا قالت الملائكة صوت معروف وقال جبريل يا رب عبدك فلان اقض حاجته فيقول الله "دعوا عبدي فإني أحب أن أسمع صوته" فإذا قال يا رب قال الله تعالى لبيك عبدى وسعديك لاتدعونى بشئ الا استجبت لك ولا تسألنى شيئا الا أعطيتك إما أن إعجل لك ما سألت وإما أن أدخر لك عندى أفضل منه وإما أن أدفع عنك من البلاء ما هو أعظم من “Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila Allah jatuh cinta kepada salah seorang hamba-Nya, maka Allah mengucurkan dan mengalirkan ujian kepadanya. Kalau ia lantas bermunajat, malaikat bergumam, suara orang ini tak asing.’ Lalu Jibril memberanikan diri, Ya Allah, itu suara si fulan, hamba-Mu. Penuhilah permintaannya.’ Allah menjawab, Para malaikat, biarkanlah ia. Aku senang mendengar suara munajatnya.’ Kalau ia menyeru, Tuhanku.’ Allah menjawab, Labbaik wa sadaik aku sambut panggilanmu wahai kekasih-Ku. Tiada satupun yang kau doakan, melainkan pasti Kukabulkan. Tiada satupun permintaanmu, melainkan pasti Kuberikan. Bisa jadi Kukabulkan segera doamu. Bisa jadi Kutangguhkan permintaanmu dan Kuganti dengan yang lebih baik. Bisa jadi juga Kuhindarkan dirimu dari bala yang lebih berat ketimbang bencana itu,’’” Lihat Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz I, halaman 76.Syekh Ibnu Abbad mengutip hadits Rasulullah SAW bahwa mereka yang dikasihi dan dicintai Allah adalah hamba-hamba-Nya yang diperkenankan untuk bermunajat kepada-Nya berlama-lama melalui pintu ujian dan cobaan. Allah menginginkan mereka yang menerima cobaan untuk sering-sering bagaimana dengan pengabulan doa dan permohonan dalam munajat kita? Lagi-lagi, kita tidak perlu khawatir. Allah takkan mengingkari dan menelantarkan hamba-Nya sebagai disinggung Syekh Syarqawi berikut عليه الصلاة والسلام من أعطى الدعاء لم يحرم الإجابة أى اما بعين المطلوب أو بغيره عاجلا أو آجلا قال بعضهم هذا اذا كان الدعاء صادرا عن اختيار وقصد أما اذا جرى على اللسان من غير قصد فان الاجابة بعين المطلوب لا تكاد تتخلفArtinya, “Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja yang dikaruniakan ibadah doa, maka ia takkan luput dari ijabah,’ baik ijabah atas hajat yang disebutkannya di dalam doa maupun ijabah atas hajat yang tidak disebutkan substitusi entah dalam waktu seketika atau ditangguhkan. Sebagian ulama memahami bahwa itu berlaku pada doa yang didasarkan pada saat orang memiliki pilihan dan disengaja. Untuk doa yang terlompat begitu saja dari mulut tanpa sengaja dan terencana, ijabah atas hajat yang terucap hampir-hampir tidak meleset dan tidak tertunda,” Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Daru Ihyail Kutub Al-Arabiyah, juz I, halaman 75.Penjelasan Syekh Syarqawi ini jelas bahwa doa pasti dikabulkan tetapi dalam tempo yang tidak bisa ditentukan dan dalam bentuk yang tidak bisa kita pastikan. Bisa jadi kita menunggu-tunggu pengabulan doa dan hajat kita, padahal Allah sudah kabulkan dalam bentuk yang lain. Ini juga yang kerap membuat kita berburuk sangka kepada samping itu, orang yang berdoa terbagi atas dua kondisi. Ada mereka yang sedang dalam kondisi lapang sehingga mereka berdoa dengan terencana. Tetapi ada orang yang bermunajat kepada Allah dalam kondisi darurat, terjepit, kepepet, sehingga mereka tidak lagi berdoa secara terencana. Mereka yang kepepet dan dalam kondisi darurat kerap diijabah Allah sesuai bentuk hajat yang mereka perlukan, yaitu mereka yang kelaparan, yang membutuhkan jaminan perlindungan dan keamanan, mereka yang membutuhkan hak hidup, mereka yang dalam kondisi sulit dan sempit lainnya. Doa atau munajat di sini bisa dalam bentuk ubudiyah semata penghambaan kepada Allah dan menganggap bahwa doa memang bagian dari ibadah. Tetapi ada juga mereka yang berdoa dan bermunajat kepada Allah karena spontanitas semata-mata lantaran kepepet dan tidak menemukan jalan lain yang memang tidak menganggap doa sebagai salah satu bentuk ibadah sebagaimana disinggung Syekh Zarruq Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 99. Wallahu alam. Alhafiz K
IbnuAthaillah Hanya dari hati kau bisa menggapai langit, mawar keagungan hanya bisa di tumbuhkan dalam hati. Rumi Tempat cinta adalah hati dan hati adalah emas murni. Keagungan Illahi menggosoknya dengan menatapnya menjadikanya terang dan murni. Jejak-jejak cahaya keindahan cinta tiada terperi muncul dalam cermin kesalehan hati.
loading...Ikhlas adalah berlepas dari ikatan dan kebergantungan dengan apa pun sehingga yang dituju hanya ridho Allah semata. Foto/dok Dalam Kitab Al-Hikam karya Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari wafat 1309 menjelaskan hakikat Ikhlas yang jarang diketahui orang. Ulama besar sufi kelahiran Alexandria Mesir ini mengatakan bahwa ruhnya amal adalah صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَاArtinya "Amal-amal itu adalah bentuk-bentuk yang tampil secara lahiriyah, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya adalah hadirnya keikhlasan cahaya ikhlas pada amal tersebut." Syaikh Ibnu Athaillah menyebutkan dua kata yaitu amal dan ikhlas. Amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan ibarat ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Beliau mengatakan dalam hikmahnya bahwa kita harus ikhlas dalam beramal. Ikhlas artinya berlepas dari ikatan dan kebergantungan dengan apa pun, sehingga kita dapat menghilangkan sifat riya dan ujub. Para ulama berkata "Luruskan amalmu dengan ikhlas dan luruskan ikhlasmu dengan berlepas dari segala daya dan kekuatan."Dikisahkan, suatu hari Rasulullah SAW berkumpul dengan beberapa sahabatnya, datanglah seorang wanita kafir membawa beberapa buah jeruk sebagai hadiah. Rasulullah SAW menerimanya dengan senyuman gembira. Lalu mulailah jeruk itu dimakan oleh Rasulullah SAW dengan tersenyum, sebiji demi sebiji hingga habislah semua jeruk tersebut. Ketika wanita itu meminta izin untuk pulang, maka salah seorang sahabat segera bertanya mengapa tidak sedikit pun Rasulullah menyisakan jeruk tadi untuk sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun menjawab "Tahukah kamu, sebenarnya buah jeruk itu terlalu asam sewaktu saya merasakannya pertama kali. Kalau kalian turut makan, saya takut ada di antara kalian yang akan mengernyitkan dahi atau memarahi wanita tersebut. Saya takut hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya."Inilah satau contoh akhlak yang agung. Ia tidak dapat dipoles di permukaan, tetapi semata-mata karena cahaya ikhlas yang sudah tertanam di dalam hati. Sikap dan perilaku adalah cerminan hati. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah SAW bersabda"Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, 'Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah', lalu Allah berfirman "Ikhlas adalah salah satu dari rahasia-Ku, yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang Aku cintai dari kalangan hamba-hamba-Ku." Imam Hasan Al-Bashari barkata, "Aku pernah bertanya kepada sahabat Hudzaifah tentang ikhlas. Beliau menjawab Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW ikhlas itu apa, beliau menjawab "Aku pernah menanyakan tentang ikhlas itu kepada Malaikat Jibril dan beliau menjawab "Aku pernah bertanya tentang hal itu kepada Allah Rabbul 'Izzaah, dan Dia menjawab "Ikhlas ialah rahasia di antara rahasia-rahasia-Ku yang Kutitipkan di hati hamba-Ku yang Aku cintai." Ikhlas itu berbeda bertingkat sesuai dengan tingkatan orang yang beramal. Keikhlasan orang-orang yang sudah Ma'rifat kepada Allah, mereka akan selalu melihat kepada gerak dan diamnya badan dan hatinya itu semua atas kehendak Allah. Mereka tidak merasa kalau bisa beramal kecuali karena pertolongan Allah, bukan karena kekuatan dirinya A'lam Baca Juga rhs Pendidikanmenjadi hal terpenting saat itu, karena mereka tahu, dari pendidikan yang baiklah, kita akan maju sebagai individu dan bangsa. padahal, Jepang menyembah matahari! mereka tidak memiliki Allah dalam hidupnya. dan kita, sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, telah memiliki petunjuk yang sangat lengkap,(Al Qur'an dan As Sunnah Jodoh merupakan istilah yang dimengerti oleh hampir semua orang. Ada berbagai sebutan untuk jodoh, diantaranya adalah pasangan hidup, teman hidup, tambatan hati, bahkan ada pula yang menyebut dengan ungkapan separuh jiwa yang berarti jika kehilangan atau terpisah akan terasa seperti kehilangan segalanya atau kehilangan sesuatu separuh dari hidupnya. Jodoh menurut islam adalah salah satu misteri yang senantiasa dipertanyakan oleh umat mukmin baik laki laki ataupun perempuan, sebab hanya Allah yang mengetahui dan menentukan jodoh untuk hamba dalam islam adalah sebuah cerminan diri, jika seseorang itu baik, InsyaAllah akan mendapatkan jodoh yang baik pula, dan sebaliknya. Jika seseorang itu baik tetapi mendapatkan jodoh yang belum sebaik dirinya, hal itu merupakan ujian dari Allah agar menuntunnya ke jalan kebaikan. Hanya Allah yang mengetahui. Wallahualam. Bagaimana jodoh tercipta dan seperti apa Allah memberikan yang terbaik untuk hamba Nya telah Allah jelaskan dalam berbagai firman Nya, berikut 15 ayat Al Qur’an tentang jodoh 1. QS An Nur Ayat 26“Wanita wanita yang keji adalah untuk laki laki yang keji, dan laki laki yang keji adalah untuk wanita wanita yang keji pula. Dan wanita wanita yang baik adalah untuk laki laki yang baik dan laki laki yang baik adalah untuk wanita wanita yang baik pula”. QS An Nur 26. Jelas dalam firman tersebut bahwa Allah memberikan jodoh berdasarkan akhlak dari hamba Nya tersebut, sebab itulah senantiasa ada nasehat bahwa setiap orang hendaknya memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Nya agar kelak mendapat jodoh yang baik QS An Nur Ayat 3“Laki laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki laki yang berzina atau laki laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang orang yang mukmin”. QS An Nur 3. Firman ini juga merupakan cermin dari jodoh yang Allah ciptakan untuk hamba Nya, wanita atau lelaki yang berzina nantinya akan mendapatkan jodoh yang seperti dirinya, setiap dari kita wajib menjaga diri dari segala perbuatan maksiat agar kelak mendapatkan jodoh yang mengajak kepada kebaikan QS Al Maidah Ayat 5Allah menghalalkan seorang laki laki dan wanita yang sholeh yaitu yang masing masing menjaga kehormatan dirinya untuk menyatukan hubungan mereka dalam ikatan yang halal. Merupakan sebuah nikmat terindah dari Allah jika dua orang yang saling mencintai bersatu dalam ikatan yang halal dengan niat beribadah kepada Nya. “Dan dihalalkan mengawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita wanita yang beriman dan wanita wanita yang menjaga kehormatan diantara orang orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina”. QS Al Maidah 5.4. QS Al Baqarah Ayat 221Jodoh berarti sesuatu yang di rihoi Allah, jika mencintai lawan jenis yang musyrik tandanya bukan mencintai karena Allah sebab mengharap jodoh karena Allah senantiasa mementingkan agamanya terlebih dahulu. “Dan janganlah kamu menikahi wanita wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita mmusyrik walaupun dia lebih menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan ijin Nya”. QS Al Baqarah 2215. QS An Nur Ayat 32“Dan nikahilah orang yang masih membujang diantara kamu dan juga orang orang yang layak menikah dari hamba hamba sahaya mu yang laki laki dan perempuan. Allah akan memberikan kemampuan pada mereka denga karunia Nya dan Allah maha luas pemberian Nya”. QS An Nur 32. Tak perlu khawatir jika anda mendapat jodoh yang mungkin masih berjuang untuk mapan, sebab Allah memberikan jodoh disertai dengan jalan mendapat rejeki yang QS Ar Rum Ayat 21Jodoh akan menjadikan dua orang menjadi tentram hatinya dan memiliki kasih sayang satu sama lain. “Dan diantara tanda tanda kekuasan Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepasanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”. QS Ar Rum 217. QS Al Furqan Ayat 74Allah menyukai hamba Nya yang berdoa dan berikhtiar, tak ada salahnya menyelipkan doa disertai senantiasa memperbaiki diri agar mendapat jodoh yang terbaik dari Nya. doa mendapatkan jodoh dan rezeki menurut al quran merupakan salah satu terbaik yang bisa dilakukan hamba-Nya untuk mendapatkan keberkahan. “Dan orang orang yang berkata Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang orang yang bertaqwa”. QS Al Furqan 74. 8. QS Ar Rad Ayat 38Allah telah menciptakan jodoh sejak jaman terdahulu, sejak Nabi Adam AS diciptakan telah Allah ciptakan Hawa sebagai jodohnya. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri istri dan keturunan”. QS Ar Rad 38.9. QS Az Dzariyat Ayat 49Allah menciptakan jodoh agar manusia senantiasa bersyukur dan mengingat kebesaran Allah, sebab jodoh merupakan sebuah anugrah, darinya akan didapatkan teman hidup sebagai pasangan dan penenang hati di dunia hingga di akherat nanti. takdir jodoh menurut islam sudah ditentukan oleh Allah dengan orang yang tepat dan terbaik bagi setiap hamba-Nya. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. QS Az Dzariyat 49. 10. QS An Nisa Ayat 1“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah mencitpakan istri nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama Nya kamu saling mencinta satu sama lain”. QS An Nisa 1. Allah memerintahkan hamba Nya untuk bertaqwa agar mendapat jodoh yang bertaqwa pula, dengan jodoh Allah akan menciptakan keturunan dan perasaan saling mencinta satu sama QS Thaaha 39Jodoh tidak hadir begitu saja, ada yang mendapatkan jodoh di usia muda, ada pula yang sebaliknya, Allah mengatur yang demikian karena kuasa Nya, dari kasih sayang yang diturunkan oleh Allah, itulah sebabnya setiap manusia harus berikhtiar dan berharap hanya kepada Allah. “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan Ku”. QS At Thaahaa 3912. QS Ali Imran Ayat 14Setiap lelaki sejatinya memiliki rasa tertarik atau minat terhadap wanita, hal itu merupakan kodrat dari Allah sebagai salah satu alasan diciptakannya jodoh. “Dijadikan indah bagi manusia kesukaan kepada benda benda yang diingini, yaitu perempuan perempuan”. Ali Imron 1413. QS Al Anbiya Ayat 89Doa ini adalah salah satu doa dalam ayat Al Qur’an yang diungkapkan oleh Nabi Allah sebagai wujud berharap mendapatkan jodoh yang terbaik, jodoh akan melenyapkan seseorang dari rasa kesendirian dan kesepian, juga kelak memberikan keturunan sebagai pelengkap dan amanah dari Allah. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku seorang diri, Engkaulah ahli waris yang paling baik”. Al Anbiya 8914. QS Yassin Ayat 36“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan makhluk makhluk semuanya berpasangan baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi, atau dari diri mereka, ataupun dari apa yang mereka mengetahuinya”. QS Yassin 36. Dari firman tersebut Allah menjamin kepada hamba Nya bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu berpasang pasangan, Allah memberikan pasangan tersebut sebagai jodoh untuk jalan beribadah kepada yang belum dipertemukan oleh Allah dengan jodohnya hendaknya senantiasa memperbaiki diri dan berikhtiar agar mendapat jodoh di waktu terbaik yang diatur oleh Allah. Bagi yang telah dipertemukan dan telah memiliki hubungan yang halal juga wajib bersyukur, memperbaiki diri, dan saling mengajak dalam kebaikan agar kelak menjadi jodoh hingga di akherat pula. Kemudian untuk tanda tanda jodoh dari allah sendiri memang terkadang tidak diduga – QS An Najm Ayat 45“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang pasangan pria dan wanita”. QS An Najm 45.Dari firman firman Allah yang telah disebutkan di atas jelas bahwa jodoh telah diciptakan dan dijamin keberadaannya oleh Allah, tentunya Allah menciptakan jodoh karena rasa kasih sayang Allah untuk hamba Nya, sebagai umat mukmin tak perlu khawatir tentang jodoh selama menjadi hamba Nya yang bertaqwa dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya, sebab Allah telah menjamin memberikan jodoh yang terbaik sesuai cermin dari dirinya jaga diri, berikhtiar, dan mengharap serta menerima jodoh kita semata karena beribadah kepada Allah. Semoga bermanfaat ya sobat pembahasan kali ini mengenai ayat tentang jodoh dalam islam. Sampai disini dulu dan sampai jumpa di lain kesempatan. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mampir dan juga membaca. Salam hangat dari penulis. D1aMH.
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/112
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/96
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/181
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/168
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/47
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/360
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/233
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/37
  • 0q0ibte8xs.pages.dev/190
  • jodoh menurut ibnu athaillah